K.H. Hasan Saifouridzall Sosok Ulama yang Komplit Pengasuh Ketiga (1952-1991 M)
K.H. Hasan Saifouridzall Sosok Ulama yang Komplit
Pengasuh Ketiga (1952-1991 M)
Nama : KH Hasan Saifourridzall
Panggilan kecil : Ahsan
Lahir : 28 Oktober 1928 M.
Wafat : Jum’at, 13 Juni 1991 M
Riwayat Pendidikan :
● Pondok Pesantren Zainul Hasan Genggong
● Pondok Pesantren Tebuireng Jombang
● Pondok Pesantren Paterongan Jombang
● Pondok Pesantren Lirboyo
Beliau lahir ketika bangsa Indonesia merajut kekuatan para pemuda dalam bingkai “Sumpah Pemuda”, dari pasangan Kiai Mohammad Hasan dan Nyai Hj. Siti Aminah. Masa kecil Nun Ahsan –panggilannya sewaktu kecil– tidak hidup di lingkungan pesantren karena tinggal bersama ibunya di kota Probolinggo, lalu pindah ke Bondowoso. Kendati hidup dalam kondisi ekonomi yang pas-pasan, namun Nun Ahsan tetap tegar. Untuk membantu mencukupi kebutuhan hidup ibunya, beliau rela berjualan makanan ringan di terminal dan kadang di stadion saat ada event keramaian.
Menjelang umur 16 tahun, Nun Ahsan diminta pulang tinggal bersama ayahnya di Genggong. Di situlah ia diajari kitab kuning. Tidak hanya di situ, Nun Ahsan juga dimondokkan ke beberapa pondok pesantren.
Waktu terus berputar, masa pun berlalu. Ketika usianya semakin matang, Nun Ahsan menyunting seorang gadis asal desa Sukodadi, Kec. Paiton, Probolinggo. Namanya Himami Hafshawaty. Pasca menikah itu lah beliau kemudian diberi amanah oleh ayahnya untuk mengurus pesantren. Nama Kiai Hasan –sapaan akrabnya- tercatat sebagai generasi ketiga yang memimpin pesantren Zainul Hasan.
Mengasuh pesantren dan menjadi muballigh, itulah dua tugas yang selalu melekat dalam perjalanan hidup Kiai Hasan. Karena kehebatannya berorasi, Kiai Hasan dijuluki singa podium. Dengan gayanya yang khas, Kiai Hasan mampu membuat audiens hanyut dalam pidatonya. Popularitasnya sebagai da’i yang handal juga sampai ke manca negara. Di antaranya beliau pernah diundang ke Malaysia, Singapura, Brunai, Thailand dan Iraq.
Di sisi lain, sejarah mencatat, pesantren Zainul Hasan tidak hanya menjadi pusat pendidikan agama, tapi juga menjadi bagian dari penggemblengan para pejuang. Bahkan Kiai Hasan sendiri terjun langsung di garda terdepan untuk mengusir penjajah. Ketika perang berkecemuk di Tulangan, Sidoarjo, Kiai Hasan bersama 20 pasukannya yang tergabung dalam Ansorudinillah, ikut bergabung dalam bentrok fisik versus serdadu Belanda itu. Alhamdulillah beliau selamat.
Kiai Hasan juga dikenal sebagai tokoh NU. Beliau pernah dua periode menjabat Rais Syuriah PCNU Kabupaten Probolinggo. NU adalah segalanya bagi Kiai Hasan. Ketika NU menjadi partai politik, beliau tampil sebagai jurkam (juru kampanye) andalan. Tapi saat NU kembali menjadi ormas (organisasi kemasyarakatan), Kiai Hasan juga cabut dari aktivitas politik.
Dengan perannya itu, Kiai Hasan benar-benar tampil sebagai sosok ulama yang komplit. Ya, sebagai pendidik, orator ulung, pejuang dan politikus. Semua itu bermuara kepada satu tujuan; menggapai ridho Allah.
Betapapun sebuah perjuangan ditakar, bagaimanapun sebuah kegigihan dan cita-cita ditebar, semuanya masih dibelenggu oleh dimensi waktu. Umurlah yang akan menyudahi segala aktifitas manusia. Kiai Hasan yang begitu agung, toh akhirnya harus tunduk kepada sunnatullah; ajal.
Jasad Kiai Hasan boleh tiada, tapi perjuangan, pengabdian dan cita-citanya harus tetap lestari. Putra-putri beliau yang berjumlah 24 orang, siap melanjutkan perjuangan sang ayah sesuai profesinya masing-masing.