Nyai Hafsa: Sosok Wanita Salehah yang Diidamkan Surga
Nyai Hafsa: Sosok Wanita Salehah yang Diidamkan Surga
Nama Kecil : Rohima (nama kecil)
Lahir : Sukodadi, Paiton, pada 1936 M.
Wafat : 5 April 1990 M/10 Ramadhan 1410 H
Pendidikan : PP. Mambaul Ulum, Paiton.
Beliau adalah putri dari pasangan KH. Hadrawi dan Nyai Suhainah. Kedua orang tuanya biasa memanggilnya “Hafsha.” Beliau tumbuh sebagai putri yang berbakti kepada kedua orang tuanya, sekaligus seorang adik yang melayani keempat kakaknya. Hafsha kecil biasa menjual belimbing semenjak berumur belasan tahun. Dengan keuntungan yang tak seberapa, beliau selalu menyisikan hasil jualannya untuk membelikan keponakannya “buah tangan”. Beliau dikenal sebagai wanita yang lemah lembut, mudah berbagi dan selalu mendahulukan orang lain. Beliau selalu menunduk (menjaga pandangan) tatkala di luar rumah, dan hanya memandang jika orang lain menyapanya.
Tahun demi tahun berlalu, Hafsha tumbuh menjadi sosok gadis yang berperangai santun. Kemandirian, kelembutan, dan kedewasaan menjadi perhiasan utama. Tidak heran jika banyak orang kagum padanya. Di usianya yang ke-16 tahun, Hafsha dipinang oleh seorang lelaki. Namun, Allah berkehendak lain, hubungan mereka tidak berlanjut ke jenjang pernikahan.
Kiai Sepuh Genggong adalah teman akrab KH. Hadrawi. Pertemanan beliau berdua semakin akrab sejak Kiai Sepuh menikahi sepupu Kiai Hadlrawi, yaitu Nyai Warsih. Beliau juga dikenal dengan perempuan salehah, dermawan, dan taat.
Suatu saat Kiai Sepuh berkunjung ke kediaman Kiai Hadrawi, beliau tiba-tiba menyampaikan, “Nanti kita akan sama-sama kehilangan.” Tidak ada yang tahu maksud dari ucapan Kiai Sepuh tersebut. Seminggu kemudian, beliau datang lagi. “Saya sudah dapat sepupumu. Nanti anak saya juga akan mendapatkan anakmu yang namanya Hafsha,” ucap Kiai Sepuh dengan wajah sumringah. Mendengar ungkapan itu, Kiai Hadrawi kaget karena saat itu Nyai Hafsha sudah dalam ikatan pertunangan dengan seorang lelaki.
Benar saja, selang satu minggu berlalu, tunangan Nyai Hafsa kecelakaan yang menyebabkan kakinya patah. Pertunangan keduanya pun dibatalkan. Sejak saat itu, KH. Hadrawi mulai menyadari maksud perkataan Kiai Sepuh yang dikenal akan kewaliannya tersebut. Kiai Saifourridzall pun mempersuntingnya. Meski sama-sama dari keluarga terhormat, hubungan keduanya tak bisa terelakkan dari adanya fitnah. KH. Hadrawi yang khawatir ahirnya datang ke Genggong menemui Kiai Sepuh. Namun jawaban Kiai Sepuh mendinginkan suasana, beliau menjawab; “Sudahlah. Hafsha akan mendampingi Ahsan di dunia dan akhirat,” ucapnya. Ungkapkan di luar logika itu Membuat KH. Hadrawi ahirnya memantapkan hati untuk menikahkan putrinya. Keduanya pun menikah pada tahun tahun 1952 M. Ny. Hafsha saat itu berumur 16 tahun, dan KH. Saifourridzal berumur 24 tahun. Pada saat yang sama, KH. Saifourridzal diangkat menjadi pengasuh ke-3 Pesantren Zainul Hasan. Artinya, awal pernikahannya mengharuskan beliau mendampingi suaminya menjadi pengasuh dari “nol”.
Sejak tahun itu Nyai Hafsha menjadi istri yang mengabdikan dirinya penuh pada suaminya. Ny. Hafsa telah istikamah bangun tengah malam untuk shalat dan mengaji serta bermunajat. Ibadah baginya adalah prioritas. Paginya, tak lupa Ny. Hafsha membuatkan kopi untuk suaminya dan menemaninya duduk di kursi menanti waktu pengajian pagi tiba. Waktu ngaji biasanya berlangsung sampai waktu Dhuha. Selepas itu, Kiai langsung kembali ke dalem, dan disambut sarapan yang sudah disiapkan sang Istri.
KH. Saifourridzal merupakan kiai dan negarawan. Tidak heran jika terkadang beliau keluar kota sampai berminggu-minggu. Minimnya media informasi membuat Ny. Hafsha tidak tahu kapan suaminya pulang; berada di mana; makan apa; dan lainnya. Namun, hal itu tidak menyurutkan pengabdian Ny. Hafsha pada suaminya. Tak peduli kapanpun suaminya kembali ke Genggong, beliau akan selalu setia menunggu suaminya di balik pintu sampai suaminya datang.
Tepat pada malam Jum’at, 5 April 1990 M/10 Ramadhan 1410 H, beliau wafat di usia 54 tahun. Genggong berduka, tangisan menyeruak seantero Genggong. Ribuan peziarah datang terpanggil, kaca aula pondok pecah disebabkan desakan peziarah. Tentu hal ini menjadi hari berkabung di keluarga beliau. (Alfa)