Mencintai Silaturahmi dan Konsisten terhadap Janji
Biografi KH Sholeh Nahrawi
Nama : KH Sholeh Nahrawi
Panggilan : Nun Kalim
Lahir : Genggong, Probolinggo, Kamis Legi 01 - Januari - 1936 M
Wafat : Jumat malam Sabtu Legi 30 - Maret - 2001 M.
Bagi kebanyakan orang Probolinggo, sosok Kiai Sholeh Nahrawi, atau biasa dipanggil Nun Kalim tidaklah asing. Hampir setiap hari, rumah Nun Kalim yang terletak bersebelahan dengan masjid Jami’ Al-Barokah, Genggong, selalu dibanjiri tamu yang hendak sowan untuk sekedar meminta nasehat dan do’a. Bahkan tak jarang para tamu harus antri karena ruangan tamu yang tak lagi muat bagi mereka.
Di kalangan masyarakat, sosok Nun Kalim adalah ulama yang membenci kemubaziran, namun mencintai kebersahajaan, pemurah, dan menghargai tamu yang hendak bersilaturahmi. Menurut penuturan khadam Nun Kalim, Arianto, warga Desa Karangbong, menyebutkan Nun Kalim selalu memberi makan tamu seperti apa yang Nun Kalim makan. Tentu sikap memberikan pelayanan maksimal oleh Nun Kalim terhadap para tamu yang datang tidak banyak kita temui terhadap masyarakat modern yang lebih mengedepankan sikap individualistik dalam menjalani kehidupannya.
Arianto bahkan menambahkan, selain menjaga agar makanan yang dimakan tamu, dan orang terdekatnya seperti khadam tidak tersisa, Nun Kalim acap kali memerintahkan para khadam mengambil sobekan kertas di jalanan yang masih layak dipergunakan. Sehingga ketika ada tamu yang meminta bacaan amalan untuk wiridan, serta meminta bacaan do’a untuk keperluan hajat hidupnya, Nun Kalim tidak segan menulis apa yang diinginkan para tamu di atas kertas yang ia pungut di jalanan.
Mencintai Silaturahmi dan Konsisten terhadap Janji
Perilaku silaturahmi hampir melekat dalam kehidupan keseharian Nun Kalim. Ulama yang memiliki kemampuan menulis dalam sejumlah bahasa seperti Cina, Jepang dan Arab tersebut selalu menyempatkan dalam kehidupan kesehariannya bersilaturahmi ke rumah para tamu yang selalu datang kepadanya. Dalam bersilaturahmi, Nun Kalim tidak pernah membedakan status sosial tuan rumah yang hendak dituju. Bahkan sebagian besar tuan rumah yang dituju Nun Kalim adalah orang miskin yang tempat tinggalnya jauh dari kata “layak”. Meski terkadang hanya disuguhi air putih dan kerupuk, hal tersebut tidak serta merta membuat Nun Kalim memilih tuan rumah yang kaya.
Konsistensi dalam menepati janji ketika hendak bersilaturrahmi terhadap orang lain, tak pernah Nun Kalim ingkari. Ketika Nun Kalim terserang penyakit kencing manis, tidak sedikit orang terdekatnya meminta Nun Kalim menunda kunjungan silaturahmi karena sakit. Namun dengan bahasa isyarat yang ia salurkan melalui para khadamnya, Nun Kalim memberi jawaban singkat dengan kata “Engkok ajenjih ka oreng, engkok berarti endik otang ke pengiran” (saya berjanji kepada orang, berarti saya punya hutang kepada Allah).
Sering Meminta Tamu Menunaikan Haji
Nun Kalim acap kali menyuruh seseorang untuk pergi menunaikan haji. Bahkan tidak sedikit, orang yang beliau suruh adalah orang kurang mampu secara ekonomi. Meski demikian, hampir semua orang yang beliau perintahkan menunaikan haji meski terbilang “tidak mampu”, tidak lama berselang dari ucapannya, mampu menunaikan ibadah haji.
Perhatian terhadap Sesama Makhluk
Pada tahun 1985, Nun Kalim kembali berangkat ke tanah suci Mekkah. Meski fisiknya berada di Mekkah, bukan menjadi alasan Nun Kalim tidak memperhatikan kehidupan para khadam dan sejumlah hewan peliharaannya seperti burung dari aneka jenis landak dan hewan-hewan lainnya.