Meneladani Kealiman dan Etikanya pada Guru dari Sang Pendekar Genggong
Meneladani Kealiman dan Etikanya pada Guru dari Sang Pendekar Genggong
Nama : KH. Moh. Hasan Saiful Islam
Nama Kecil : Nun Moh. Hasan Mu’tashim Billah (nama kecil) / Nun Tobing.
Lahir : Sabtu, 26 Muharram 1379 H / 01 Agustus 1959 M.
Wafat : Sabtu, 29 Safar 1442 H / 17 Oktober 2020.
Riwayat Pendidikan :
● Pesantren Zainul Hasan Genggong
● Ma’hadul Ilmu al-Syar’i (MIS), Sarang, Rembang.
● Lirboyo, Kediri.
● Utaibiyah, Makkah, yang diasuh oleh Prof. Dr. Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki. Saat ini di Rushaifah.
Saat di Pesantren yang diasuh sang ayah, beliau mendapat didikan yang sangat ketat. Beliau bersama kedua kakaknya; KH. Moh. Hasan Mutawakkil Alallah dan KH. Moh Hasan Abdel Bar sering dipantau langsung ke kamar untuk sekedar melihat beliau mengaji kepada Ust. Sahari (santri senior).
Di Lirboyo, beliau tak hanya belajar ilmu agama, namun beliau juga mengasah ilmu beladiri kepada KH. Abdullah Makshum Jauhari atau yang sering dikenal dengan panggilan Gus Makshum. Kepiawaian beliau dalam ilmu beladiri tidak perlu diragukan lagi. Sampai-sampai beliau sering dijuluki Pendekar Genggong.
Di Makkah, beliau banyak menghabiskan waktunya hanya untuk mengabdi kepada sang guru. Seorang sahabat beliau dibuat takjub lantaran sangat jarang melihat beliau belajar namun mampu menguasai semua pelajaran. Kecerdasan beliau banyak mengundak takjub santri lain. Tak terkecuali Habib Sholeh Basalamah, Brebes yang saat itu ditunjuk menjadi pengurus oleh Sayyid Muhammad. Beliau pernah mengungkapkan kekagumannya kepada KH. Makshum Turmudzi; “Gimana Saiful Islam itu!, waktu belajar (dia) tidur, tapi saat ditanya bisa jawab!”. Diungkapkan juga oleh KH. Abdul Mu’iz Turmudzi, santri angkatan pertama Sayyid Muhammad, bahwa hafalan Kiai Saiful Islam layaknya komputer.
Selain melalui usahanya sendiri, kealiman beliau di antaranya disebabkan oleh etika beliau kepada guru. Tak jarang beliau dipukul tanpa sebab oleh Sayyid Muhammad. Namun semua beliau terima dengan ikhlas dan lapang dada. “Jangan pernah melawan guru!, meskipun kamu ditakzir dan kamu tidak bersalah, jangan melawan!. Karena di situ ada keberkahan”; salah satu nasihat beliau kepada salah satu putranya saat hendak berangkat mondok ke Lirboyo.
Di lain waktu, saat hendak menjenguk putranya di Lirboyo, tanpa disengaja sang supir memarkirkan mobilnya di depan dalem sang guru. Melihat itu, beliau merespon dengan dawuh; “Jangan memarkirkan kendaraan tepat di depan kediaman guru, karena termasuk su’ul adab/perilaku buruk santri”.
Tak pernah usai membahas penghormatan beliau kepada guru-gurunya. Meski tergolong keluarga, beliau tetap akan menghormatinya. KH. Ali Karrar, Sampang, Madura adalah salah satu famili sekaligus guru beliau saat di Makkah. Sisi keguruan akan selalu beliau dahulukan ketimbang sisi saudara. Nyaris setiap harlah Majlis Ta’lim Al-Ahadi beliau selalu mengundang KH. Ali Karrar untuk mengisi mauidzah; suatu bentuk pengagungan murid demi menjaga sambungan keguruan.
Sabtu tanggal 29 Safar 1442 H/17 Oktober 2020 M bumi Genggong dibasahi air mata. Deru tangisan menyeruak. Sosok pendekar yang takluk dihadapan sang guru wafat tepatnya pada pukul 11:25 setelah melakukan rutinitas wiridan. (Alfa)
Sumber: Majalah Genggong