MELAHAP SEMUA PENGETAHUAN KH. MOH. HASAN
Pesantren Zainul Hasan Genggong – Pondok KH. Kholil Bangkalan
KH. Ahmad Nahrawi wafat pada hari Rabu, 16 Jumadits Tsani 1360 H / 11 Juli 1941 M. Semasa hidupnya, beliau dikenal sebagai sosok yang sangat istiqamah dalam mengamalkan amaliah-amaliah harian. Di antara amaliah yang menjadi ciri khas beliau adalah pembacaan Sholawat Kubro, yakni sholawat yang diberikan oleh Allah SWT melalui malaikat Jibril kepada Rasulullah SAW. Selain itu, beliau juga rutin mengamalkan bacaan surat sab’ah (tujuh surat pilihan), yakni: Surat al-Sajdah, Yasin, al-Dukhan, al-Rahman, al-Waqi’ah, al-Hadid, dan al-Mulk.
KH. Ahmad Nahrawi merupakan anak sulung dari pasangan KH. Muhammad Hasan (Kiai Sepuh) dan Nyai Ruwaidah. Masa kecil beliau banyak dihabiskan di lingkungan kompleks pesantren Genggong. Sebagai putra sulung, beliau sangat memikirkan kemajuan pesantren yang diasuh oleh ayahandanya. Salah satu bentuk kontribusi nyata beliau adalah pembangunan tembok pesantren yang semula hanya terbuat dari anyaman bambu, diubah menjadi bangunan permanen sekitar tahun 1939 M. Setiap langkah pembangunan tersebut senantiasa beliau musyawarahkan dengan sang ayah, menunjukkan sikap hormat dan taat seorang santri sekaligus anak terhadap guru dan orang tua.
Selain itu, pada tahun 1934 M, beliau juga menggagas pembangunan madrasah pertama di lingkungan pesantren, sebuah langkah besar dalam pengembangan pendidikan di Pesantren Genggong. Bahkan, beliau pula yang menggagas perluasan area pesantren hingga mencapai luas sekitar 10 hektar, yang kelak menjadi salah satu fondasi pertumbuhan pesantren ke depannya.
Beliau menikah dengan Nyai Marfuah, yang merupakan anak dari saudara kandung ibundanya. Dari pernikahan tersebut, Allah menganugerahkan 11 orang anak, yaitu:
-
Nun Moh. Chozin
-
Nun Yahya Nahrawi
-
KH. Ahmad Taufiq Hidayatullah (nama kecil: Nun Abdullah)
-
Maryamah
-
Nun Abdurrahman
-
KH. Muhammad Tuhfah
-
Khodijah
-
Nun Abdul Jalil
-
KH. Sholeh Nahrawi (dikenal sebagai Nun Abdul Kalim atau Nun Kalim)
-
Sufiyah
- Ny. Hj. Fashihah
Dalam pengajian haul KH. Sholeh Nahrawi pada bulan November 2012, KH. Mutawakkil Alallah menyampaikan dengan tegas, “Seluruh keturunan Kiai Ahmad Nahrawi tidak memiliki generasi penerus, tapi mereka semua adalah waliyullah.”
Menurut penuturan Ustaz Saifuddin, yang merupakan khadim pribadi dari KH. Abdul Jalil (putra beliau), KH. Muhammad Hasan sangat menginginkan agar anak sulungnya mengikuti jejak beliau dengan berguru kepada KH. Kholil Bangkalan, seorang ulama besar yang masyhur akan kealiman dan karomahnya. KH. Hasan sendiri pernah nyantri kepada KH. Kholil selama kurang lebih tiga tahun.
Saat KH. Ahmad Nahrawi mulai dewasa, keinginan itu diwujudkan. KH. Hasan sendiri yang mengantarkan sang putra ke pesantren KH. Kholil. Beliau begitu bahagia karena sang anak menuruti kehendaknya. Namun, betapa terkejutnya beliau ketika setibanya di rumah, putranya yang baru saja ia antar ke Bangkalan telah kembali dan duduk di samping ibunya, Nyai Ruwaidah.
Raut wajah kecewa sempat muncul di wajah KH. Hasan. Namun, sebelum ungkapan kecewa itu terucap, Nyai Ruwaidah menenangkannya dengan berkata bahwa Syamsuri (nama kecil KH. Ahmad Nahrawi) telah menyerap seluruh ilmu yang ia butuhkan langsung dari ayahandanya sendiri.
Mendengar itu, KH. Hasan pun tenang dan mulai ikhlas. Menurut Ustaz Saifuddin, ketenangan itu lahir karena KH. Hasan memahami kedalaman ilmu mukasyafah yang dimiliki istrinya, Nyai Ruwaidah—seorang wanita salehah yang mampu melihat dan memahami perkara batin dengan jernih.