26 Feb 2016
TaushiyahSumber Gambar : -
2 Februari 2024
Umum
Event
Figur
Taushiyah
Umum
Genggong Nusantara | Ust. Yusuf Mansur saat memberikan sambutan di Malam Puncak Haflatul Imtihan ke-91 PZH Genggong, Selasa (07/03) Dalam setiap kehidupan, diperlukan kompetensi yang baik dan sehat demi terwujudnya insan sempurna. Ust. Yusuf Mansur membeberkan cara sederhana untuk mewujudkannya saat memberikan sambutan di Malam Puncak Haflatul Imtihan ke-91 PZH Genggong, Selasa (07/03). Sosok yang bernama lengkap H. Jam’an Nurchotib Mansur, S.H.I., M.E., itu menjelaskan, cara ini memang terlihat sederhana. Namun, diperlukan kesungguhan dan ketetapan hati dalam menjalaninya. “Caranya sederhana, cukup bertakwa kepada Allah, Sang Pemilik Segalanya,” ungkapnya menggelegar. Diapun menceritakan pertemuan antara Nabi Yusuf bin Nabi Ya’kub dengan saudaranya. Saudaranya yang mengira Nabi Yusuf sudah mati bertahun-tahun saat tragedi pembuangan Yusuf kecil ke sumur kaget melihat Yusuf masih hidup tumbuh besar dan menjadi raja sebuah negeri seberang. Seakan kurang puas melihat kenyataan, mereka lantas bertanya kepada Nabi Yusuf As.“Aku Yusuf dan ini saudaraku,” jawabnya termaktub dalam Al-qur’an ayat 90. Oleh karenanya, lanjut Ust. Yusuf, ia berharap seraya mendoakan santri agar selalu bersabar menjalankan aktivitas pondok.“Nabi Yusuf ditaruh di sumur jadi (waliyullah), apalagi santri di pesantren,” ujarnya. (kak) Rate this post
5 Mei 2021
Taushiyah
Assalamu’alaikum Wr. Wb. Benarkah mengqadha salat pada hari Jumat terakhir Ramadan, dapat menambal cacatnya salat seumur hidup? Ada yang mengatakan dasarnya tidak jelas alias hoax. Terima kasihHAQQUL YAQIN, Kraksaan, Probolinggo Waalaikum Salam Wr. Wb. SALAT yang dimaksud, disebut salat bara’ah atau salat kafarat. Saya tidak akan menjelaskan cara-caranya, dikarenakan masih menjadi perdebatan panjang para ulama mengenai keabsahannya. Ada yang memperbolehkan dan ada yang mengharamkan. Seorang mufti Hadlramaut Yaman, Syekh Fadl bin Abdurrahman, meresume perbedaan pandangan para ulama tersebut dalam kitabnya: Kasyf al-Khafa’ wa al-Khilaf fi Hukmi Shalat al-Bara’ah min al-Ikhtilaf. Sebelum kita melangkah ke sana, agar tidak terjadi kesalahpahaman, terlebih dahulu perlu digaris bawahi bahwa salat kafarat tersebut bukan sebagai ganti salat yang bertahun-tahun ditinggalkan, apalagi dengan sengaja. Selain itu, dengan adanya salat kafarat, bukan berarti pula seorang muslim terbebas dari kewajiban salat yang lima waktu. Mengenai diperbolehkannya salat kafarat, salah satu pendapat ulama sebagai berikut: “Tidak diragukan lagi bahwa al-Arif billah Fakr al-Wujud Syekh Abu Bakr bin Salim adalah termasuk tokoh yang mengikuti amaliyyah salat kafarat/bara’ah ini, sebab orang yang ahli makrifat tidak terikat dengan mazhab tertentu, seperti keterangan dalam kitab al-Ibriznya Syekh Abdul Aziz al-Dabbagh, bahkan beliau mengatakan, sesungguhnya mazhabnya wali yang al-Arif billah lebih kuat dibandingkan dengan mazhab empat.” (Syekh Fadl bin Abdurrahman al-Tarimi al-Hadlrami, Kasyf al-Khafa’ wa al-Khilaf fi Hukmi Shalat al-Bara’ah min al-Ikhtilaf, halaman 48) Sementara Imam Ibnu Hajar Al-haitami dari mazhab Syafii sangat melarang salat kafarat. “Yang lebih buruk dari itu adalah tradisi di sebagian daerah berupa salat 5 waktu di Jumat ini (Jumat akhir Ramadan) selepas menjalankan salat Jumat, mereka meyakini salat tersebut dapat melebur dosa salat-salat yang ditinggalkan selama setahun atau bahkan semasa hidup, yang demikian ini adalah haram atau bahkan kufur, karena beberapa sisi pandang yang tidak samar.” (Syekh Ibnu Hajar al-Haitami, Tuhfah al-Muhtaj, juz.2, halaman 457). Syekh Abdul Hamid al-Syarwani dalam mengomentari pendapat Ibnu Hajar tersebut berkata: “Ucapan Syekh Ibnu Hajar, yang demikian ini, yakni haram atau bahkan kufur, karena beberapa sisi pandang yang tidak samar, di antaranya adalah dapat menggugurkan kewajiban mengqadha salat, hal ini menyalahi seluruh mazhab-mazhab.” ( Hasyiyah al-Syarwani ‘ala al-Tuhfah, juz.2, halaman 457). Kesimpulannya, jika ingin melakukan salat kafarat, lakukan saja. Asal tidak berkeyakinan, bahwa salat tersebut mampu menggugurkan kewajiban salat yang lima waktu. Bagi yang berpegang pada pendapat ulama yang mengharamkan, tak perlu meributkannya. Kedamaian di akhir Ramadan, ini jauh lebih penting dari meributkan hal-hal yang tidak begitu urgent. Wallahu a’lam bisshowab. (*) Nun Hassan Ahsan Malik, M.Pd. Pengasuh Pesantren Zainul Hasan Genggong. Wakil Sekretaris Komisi Dakwah dan Pemberdayaan Masyarakat MUI Jawa Timur. Alumnus Rushaifah, Makkah, asuhan Sayyid Ahmad bin Muhammad bin Alawy Al Maliki. Sumber: https://radarbromo.jawapos.com/utama/04/05/2021/mengqadha-salat-pada-jumat-terakhir-ramadan/ 5/5 - (1 vote)
26 September 2017
Umum
Taushiyah
KHIDMAT: Para jamaah tampak khusuk mendengarkan manaqib Almarhum K.H. Sholeh Nahrawi, yang disampaikan oleh K.H. Moh Hasan Saiful Islam. GENGGONG– Haul Almarhum Al Arif Billah K.H. Sholeh Nahrawi, Pesantren Zainul Hasan Genggong, Kecamatan Pajarakan, Kabupaten Probolinggo, Senin (25/9/2017), benar-benar menyedot perhatian umat Islam. Ribuan jamaah hadir memenuhi majelis haul di Pondok Baitus Sholihin, Pesantren Zainul Hasan Genggong. Ribuan jamaah itu terlihat begitu antusias memenuhi tempat yang disiapkan panitia di halaman pondok asuhan K.H. Moh. Hasan Ainul Yaqin itu. Meski hanya duduk lesehan di atas alas seadanya di bawah terop yang juga belum mampu menahan panasnya matahari, jamaah tetap terlihat khidmat mengikuti setiap rangkaian acara. Dari saking banyaknya jamaah, banyak jamaah yang rela tak kebagian tempat di bawah tenda. Padahal, hamparan karpet di bawah tenda yang disiapkan panitia mencapai sekitar 3 hektare. Mereka banyak yang mencari tempat alternatif, mulai dari menempati teras gedung madrasah mencari tempat teduh di tengah rimbunnya pohon sengon. Maklum, halaman Pondok Baitus Sholihin, cukup luas. Sehingga, sebagian lahannya dilengkapi dengan kebun sengon. Sekitar pukul 09.00 WIB, rangkaian acara haul dimulai dengan pembacaan ayat suci Alquran yang dilanjutkan dengan pembacaan shalawat nabi. Seperti biasa, Pengasuh Pesantren Zainul Hasan Genggong K.H. Moh. Hasan Saiful Islam didaulat untuk membacakan manaqib K.H. Sholeh Nahrawi. PENUH: Ribuan jamaah tampak memenuhi majelis haul seluas 3 hektare yang disediakan panitia. Dalam kesempatan itu, Kiai Saiful Islam mengungkapkan, banyak ulama dan habaib yang menyaksikan dan menyatakan kewalian K.H. Sholeh Nahrawi atau Nun Kalim. Di antaranya, Habib Abdullah bin Abdul Qodir, Malang; Habib Abdul Qodir, Jember; Habib Jakfar, Pajarakan, Kabupaten Probolinggo, bahkan Sayyid Muhammad. Nun Kalim merupakan anak kelima K.H. Ahmad Nahrawi dan merupakan cucu dari K.H. Moh. Hasan. Nun Kalim mengaji atau belajar ilmu agama pada Kiai Moh. Hasan dan Nabi Musa as. “Termasuk, nama K.H. Sholeh Nahrawi ini pemberian dari Nabi Musa,” ujar Kiai Saiful Islam. Semasa hidupnya, menurut Kiai Saiful Islam, Nun Kalim sering berperilaku “nyeleneh.” Bahkan, kadang sering bertindak “seenaknya.” “Pernah, Kiai Hasan Saifouridzall bercerita kepada Kiai Mahrus Ali Lirboyo. Kiai Hasan Saifouridzall bilang, kalau keponakannya (Nun Kalim) orangnya agak majdub, kalau sudah kadung maunya, tidak peduli siapa orangnya, harus dituruti,” ujarnya. Pernah suatu ketika, saat itu Nun Kalim baru datang dari menjalankan ibadah haji. Kebetulan, Kiai Hasan Saifouridzall kedatangan tamu salah seorang bupati di Jawa Timur. Karena Nun Kalim sudah mau datang, Kiai Hasan Saifouridzall mengajak bupati itu menyambut Nun Kalim di depan Pesantren Zainul Hasan Genggong. Tak lama kemudian, Nun Kalim datang dan langsung menyalami Kiai Hasan Saifouridzall dan bupati tersebut. Namun, saat itu juga Nun Kalim meminta khadamnya mengambil setandan pisang. Setelah diberi, ternyata Nun Kalim meminta sang bupati untuk memikul setandan pisang itu sampai ke dalam pesantren. Jaraknya, sekitar 1 kilometer dari tempat Nun Kalim disambut. Anehnya, menurut Kiai Saiful Islam, bupati itu tidak menolak. Bahkan, menuruti apa yang diperintahkan Nun Kalim. “Padahal, pada waktu itu orde baru. Bupati begitu dihormati. Jangankan bupati, camat saat itu sangat dihormati. Bahkan, bisa berfoto dengan camat sudah luar biasa. Tapi, entah kenapa bupati itu nurut sama Nun Kalim,” ujarnya. Kiai Saiful Islam juga mengaku, tidak tahu isyarat apa yang terjadi antara Nun Kalim dengan sang bupati. Menurutnya, bisa saja sang bupati habis bertengkar dengan penjual pisang. “Tapi, yang tahu langsung ada isyarat apa, ya bupatinya tadi,” ujarnya disambut senyum jamaah. (*) 5/5 - (3 votes)
26 September 2017
Umum
Taushiyah
Dalam Rangka Haul KH. Mohammad Hasan Genggong ke-62 JAKARTA – Lantunan sholawat berkumandang pada acara haul ke-62 Almarhum Al Arif Billah KH. Mohammad Hasan di komplek DPR RI Kemanggisan Jakarta Barat, Ahad, 23 September 2017. Haul yang digelar oleh Dewan Pengurus Cabang Ikatan Alumni dan Santri Pesantren Zainul Hasan Genggong (DPC Tanaszaha) Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) itu dihadiri ribuan masyarakat. Haul itu dilaksanakan di kediaman Gus Nasrul Warid dan Ning Ghina Nafsi selaku Shohibul Bait Pesantren Zainul Hasan Genggong yang tinggal di Jakarta Barat. Shohibul bait lain yang hadir pada haul tersebut di antaranya adalah Nyai Hj. Endah Nihayati, Nyai Hj. Malika Balqis, dan Nun Hassan Ahsan Malik, dan Ning Hasanatud Dzaraini. Acara ini di gelar berkolaborasi dengan Majelis Nurul Musthofa pimpinan Habib Hasan bin Ja’far Assegaf. Kehadiran para jamaah membuat Jalan Kemanggisan Jakarta Barat macet total. Membeludaknya masyarakat dan jamaah yang hadir menandakan besarnya rasa cinta masyarakat Jakarta kepada para ulama demi mendapat barokah mereka. Haul diawali dengan pembacaan Surat Yasin dan tahlil yang dipimpin oleh Gus Nasrul Warid dan Nun Hassan Ahsan Malik. Disusul pembacaan manaqib (sejarah) KH. Mohammad Hasan oleh Nun Hassan Ahsan Malik. Para jamaah cukup takjub mendengarkan manaqib tersebut. Nun Alex, sapaan karib Nun Hassan Ahsan Malik membeberkan sebagian kisah serta kepribadian dan karomah Kiai Hasan Genggong. Misalnya kisah di mana Kiai Hasan bertemu secara batin dengan Habib Ali Al-Habsyi, Seiwun, Yaman. (pengarang Maulid Simtudduror). Kisah ini diceritakan ulang oleh Habib Abdul Qadir bin Quthban Assegaf. “Suatu ketika, Habib Abdul Qadir bin Quthban Assegaf berkesempatan silaturahim kepada Kiai Hasan Genggong. Kedatangannya disambut dengan ramah oleh tuan rumah. Lalu terjadilah percakapan antara keduanya. Hingga pada akhirnya Kiai Hasan menanyakan tentang kabar seorang ulama dari Yaman,” terang Nun Alex menceritakan kisah tersebut. Kiai Hasan bertanya kepada Habib Abdul Qadir tentang kabar dari Habib Ali Al-Habsyi. Mendapat pertanyaan itu, Habib Abdul Qadir tertegun. Sebab sepanjang pengetahuannya, Kiai Hasan belum pernah pergi ke Yaman. Sebaliknya, Habib Ali Habsyi Seiwun juga belum pernah pergi ke Indonesia. Sebelum Habib Abdul Qodir sempat menjawab, Kiai Hasan kembali berucap. Kali ini, Kiai Hasan menerangkan cukup detail tentang seperti apa Habib Ali secara fisik, kepribadiannya, bahkan tentang kebiasaan Habib Ali. “Bahkan kepada Habib Abdul Qodir, Kiai Hasan juga menerangkan bahwa di depan kediaman Habib Ali ada sebuah masjid bernama Masjid Riyadh. Kiai Hasan juga menerangkan kondisi tiang yang ada di masjid tersebut. Jadi, Kiai Hasan menerangkan sangat detail, seolah-oleh beliau sudah pernah ke Yaman,” terang Nun Alex. Setelah pulang ke Yaman, Habib Abdul Qodir mengunjungi Kota Seiwun. Tujuannya untuk bertemu dengan Habib Ali Al Habsyi. Habib Ali bertanya apakah Habib Abdul Qodir bertemu dengan Kiai Hasan di Jawa. “Habib Ali juga berbicara tentang Kiai Hasan secara fisik. Duduknya begini, caranya berjalan seperti ini, wajahnya begini, kondisi rumahnya begini. Jadi, Habib Ali seolah juga pernah berkunjung ke Kiai Hasan di Jawa. Padahal Habib Ali juga tidak pernah ke Indonesia,” terang Nun Alex. Hadirin haul semakin tertegun dan takjub. Habib Abdul Qadir cukup takjub dengan detailnya penjelasan Habib Ali. “Begitulah para kekasih Allah, meski tidak pernah bertemu secara lahir, tapi pertautan batin mereka sangatlah erat,” terang Nun Alex. Tahun berganti tahun, Habib Ali dan Kiai Hasan telah wafat. Hingga, suatu ketika digelarlah peringatan Haul ke-105 Habib Ali Al-Habsyi Seiwun di Kota Solo. Nun Alex mengungkapkan, salah seorang cucu Kiai Hasan Genggong sowan ke Habib Anis, salah seorang cucu dari Habib Ali. “Habib Anis menyampaikan, bahwa Kiai Hasan dan Habib Ali memiliki ketersambungan batin,” ungkap Nun Alex. Ceramah agama pada haul tersebut disampaikan oleh Habib Hasan bin Ja’far Assegaf, pimpinan Majelis Nurul Musthofa. Kepada para hadirin, Habib Hasan menyampaikan bahwa ia pernah melakukan ziarah ke maqbaroh Kiai Hasan di Genggong. “Beliau adalah seorang waliyullah. Pengibar panji Nabi Muhammad Shollallahu Alaihi Wasallam,” ungkap Habib Hasan. Habib Hasan mengatakan, seseorang tidak akan diangkat oleh Allah untuk menjadi seorang wali jika tak memiliki hati yang bersih. “Yakni hati yang memiliki cahaya Nabi Muhammad Shollallahu alaihi wasallam,” terangnya. Habib Hasan meminta anak-cucu meneruskan perjuangan Kiai Hasan Genggong dalam mensyiarkan Islam. “Dari manaqib Kiai Hasan yang telah dibacakan, banyak sekali kebaikan yang telah diajarkan oleh Kiai Hasan Genggong,” ujarnya. “Mulai besok, saya minta seluruh hadirin mengamalkan apa yang diamalkan oleh Kiai Hasan, karena beliau tersambung langsung kepada Nabi Muhammad Shollallahu Alaihi Wasallam. Hati kita harus tersambung kepada para ulama, para auliya’. Kita bisa meniru ilmunya, akhlaknya,” urai Habib Hasan. Menurutnya, hadirin berkumpul tak hanya untuk mendengarkan biografi Kiai Hasan. Tapi juga untuk mencontoh keteladanannya. “Semoga ini menjadi keberkahan kita semua, anak-istri kita semua. Hadirilah haul para ulama dan para habaib di tempat lain. Keberkahan itu ada pada mereka yang menghadiri haul para ulama,” terang Habib Hasan. (mar/eem/hss) 5/5 - (1 vote)