30 Nov 2014
HikmahSumber Gambar : -
16 Mei 2018
Hikmah
Sebagai mana kita ketahui setelah Islamnya Umar Bin Khatab, ia dikenal sebagai orang terdepan yang selalu membela Nabi Muhammad SAW dan ajaran Islam pada setiap kesempatan yang ada bahkan ia tanpa ragu menentang kawan-kawan lamanya yang dulu bersama mereka ia ikut menyiksa para pengikutnya Nabi Muhammad SAW. Umar diangkat menjadi Khalifah setelah mengantikan Khalifah pertama Abu Bakar AS-Siddiq. Dia adalah khalifah yang disayangi oleh Umat. Dia dikenal sebagai pemimpin yang adil dan penyayang kepada umat. Dia juga pemimpin pelindung pada kaum minoritas. Dalam suatu riwayat dikisahkan di masa kepemimpinan beliau, Mesir dipimpin oleh seorang Gubernur yang kehidupannya sangat kaya bagaikan kaisar. Ia bernama Amr bin Ash. Saat itu sang gubernur ingin membangun sebuah masjid di samping istananya yang megah, tetapi di wilayah akan dibangunnya masjid, ada gubuk reyot milik seorang yahudi. Gubernur Amr bin ‘Ash lalu memanggil orang Yahudi itu dan meminta agar dia mau menjual gubuknya. Akan tetapi orang Yahudi itu tidak berniat untuk menjualnya. Kemudian gubernur Amr bin ‘Ash memberikan penawaran yang cukup tinggi dengan harga lima belas kali lipat dari harga pasaran, tetapi tetap saja orang Yahudi itu menolak untuk menjualnya. Gubernur Amr bin ‘Ash kesal dan akhirnya karena berbagai cara telah dilakukan dan hasilnya buntu, maka sang gubernur pun menggunakan kekuasaannya dengan memerintahkan bawahannya untuk menyiapkan surat pembongkaran dan akan menggusur paksa lahan tersebut. Sementara si Yahudi tua itu tidak bisa berbuat apa-apa selain menangis dan kemudian dia berniat untuk mengadukan kesewenang-wenangan gubernur Mesir itu pada Khalifah Umar bin Khattab. Di sepanjang jalan menuju Madinah, Yahudi itu berpikir bagaimana sosok sang khalifah, apakah ia sama sikapnya dengan sang gubernur. Hingga akhirnya ia sampai di kota Madinah. Ia bertemu dengan seorang pria yang duduk di bawah pohon kurma. Ia bertanya, “ Wahai tuan, tahukah anda dimana khalifah?” Lelaki itu menjawab, “Ada apa kau mencarinya?” “Aku ingin mengadukan sesuatu.” Jawabnya. Ia bertanya lagi, “Dimanakah istananya?”. “Ada diatas lumpur.”jawab lelaki itu. Yahudi itu bingung atas jawabannya kemudian ia bertanya lagi, “Lalu, siapa pengawalnya?” “Pengawalnya orang-orang miskin, anak yatim dan janda-janda tua.”. Yahudi itu bertanya lagi, “Lalu pakaian kebesarannya apa?”. “Pakaian kebesarannya adalah malu dan taqwa.” Yahudi itu bertanya lagi,”Dimana ia sekarang?” Lelaki itu menjawab, “Ada di depan engkau.” Sungguh kaget Yahudi itu. Ternyata yang sejak tadi ia tanya adalah seorang Khalifah, ia ceritakan segala apa yang dilakukan oleh Gubernur Mesir padanya. Laporan tersebut membuat Khalifah Umar bin Khattab marah dan wajahnya menjadi merah padam. Setelah amarahnya mereda, kemudian orang Yahudi itu diminta untuk mengambil tulang belikat unta dari tempat sampah, lalu diserahkannya tulang itu kepada Khalifah Umar bin Khattab. Khalifah Umar bin Khattab kemudian menggores tulang tersebut dengan huruf alif yang lurus dari atas ke bawah dan di tengah goresan itu ada lagi goresan melintang menggunakan ujung pedang, lalu tulang itu pun diserahkan kembali kepada orang Yahudi tersebut sambil berpesan: “Bawalah tulang ini baik-baik ke Mesir dan berikanlah kepada Gubernur Amr bin ‘Ash”, jelas Khalifah Umar bin Khattab. Si Yahudi itu kebingungan ketika diminta untuk membawa tulang yang telah digores dan memberikannya kepada Gubernur Amr bin ‘Ash. Gubernur Amr bin ‘Ash yang menerima tulang tersebut, langsung tubuhnya menggigil kedinginan serta wajahnya pucat pasi. Saat itu juga Gubernur Amr bin ‘Ash mengumpulkan rakyatnya untuk membongkar kembali masjid yang sedang dibangun dan membangun kembali gubuk yang reyot milik orang Yahudi itu. “Bongkar masjid itu!”, teriak Gubernur Amr bin Ash gemetar. Orang Yahudi itu merasa heran dan tidak mengerti tingkah laku Gubernur. “Tunggu!” teriak orang Yahudi itu. “Maaf Tuan, tolong jelaskan perkara pelik ini. Berasal dari apakah tulang itu? Apa keistimewaan tulang itu, sehingga Tuan berani memutuskan untuk membongkar begitu saja bangunan yang amat mahal ini. Sungguh saya tidak mengerti!”, kata orang Yahudi itu lagi. Gubernur Amr bin Ash memegang pundak orang Yahudi itu sambil berkata: “Wahai kakek, tulang ini hanyalah tulang biasa dan baunya pun busuk.” “Mengapa ini bisa terjadi. Aku hanya mencari keadilan di Madinah dan hanya mendapat sebongkah tulang yang busuk. Mengapa dari benda busuk tersebut itu gubernur menjadi ketakutan?” kata orang Yahudi itu. “Tulang ini merupakan peringatan keras terhadap diriku dan tulang ini merupakan ancaman dari Khalifah Umar bin Khattab. Artinya, “Apa pun pangkat dan kekuasaanmu suatu saat kamu akan bernasib sama seperti tulang ini, karena itu bertindak adillah kamu seperti huruf alif yang lurus. Adil di atas dan adil di bawah. Sebab kalau kamu tidak bertindak adil dan lurus seperti goresan tulang ini, maka Khalifah tidak segan-segan untuk memenggal kepala saya”, jelas Gubernur Amr bin ‘Ash. Orang Yahudi itu tunduk terharu dan terkesan dengan keadilan dalam Islam. “Sungguh agung ajaran agama Tuan. Sungguh aku rela menyerahkan tanah dan gubuk itu. Bimbinglah aku dalam memahami ajaran Islam!”. Yahudi itu mengucapkan syahadat dan ia mengikhlaskan gubuknya sebagai area masjid. Itulah Khalifah Umar, seorang Yahudi masuk islam berkat keadilan dari Umar. Sumber: akhwatmuslimah.com 3.8/5 - (6 votes)
10 Agustus 2017
Figur
Hikmah
KH. Husnan Ketika memasuki kawasan Bondowoso dari arah utara kita akan melewati jalan menanjak yang berliuk-liuk, itulah gunung arak-arak yang merupakan batas teretorial antara kabupaten Bondowoso dan Situbondo, melangkah lebih jauh kearah selatan kurang lebih 5 kilometer kita akan menjumpai desa Wringin yang merupakan tanah kelahiran seorang Ulama yang menjadi icont ”Barokah” mengingat kedudukan yang disandangkan oleh Allah kepadanya disinyalir buah (barokah) dari khidmah (pengabdian) beliau kepada sang guru sewaktu beliau nyantri di Pondok Pesantren Zainul Hasan Genggong Probolinggo, beliau adalah KH. Husnan Bin Muhsin Pengasuh Pondok Pesantren Roi’yatul Husnan. Ahmad Ro’i atau lebih dikenal dengan sebutan Bindhereh Madra’i (bahasa madura) nama kecil Kyai Husnan lahir dari keluarga yang secara finansial serba kekurangan namun demikian beliau adalah pemuda yang sabar dan tegar menerima keadaan. Sebagai putra dari seorang Pengasuh Musholla Ahmad Ro’i merasa perlu membekali dirinya dengan Ilmu agama hal itu terlihat ketika Ahmad Ro’i mulai beranjak dewasa beliau memohon restu kepada ayahandanya untuk mengabdikan hidupnya di Pondok Pesantren Zainul Hasan Genggong guna memperdalam ilmu agama, setelah mendapatkan restu dengan kemantapan hati dan niat yang luhur Ahmad Ro’i berangkat menuju ke Genggong dengan berjalan kaki dalam jarak tempuh sekitar 60 Kilometer dan membawa perbekalan seadanya, beliau menjalani kesehariannya dengan kondisi yang memprihatinkan, akan tetapi beliau tidak pernah menyerah pada keadaan, sepertinya beliau sudah sangat terlatih hidup serba kekurangan, dengan semangat yang berkobar beliau tetap komitmen dan konsisten pada apa yang menjadi niatnya semula yaitu mencari ilmu Allah. Sisi lain dari perjalanan Ahmad Ro’i dalam tholabul ‘ilmi sebagian besar waktunya beliau isi dengan ber-khidmah kepada sang guru, dengan dedikasi yang tinggi Ahmad Ro’i begitu telaten melayani setiap hajat gurunya hingga pada urusan dapur. Al Kisah, Sewaktu Kyai Moh Hasan Genggong menceritakan kepada para santri bahwa cincin Ibu Nyai jatuh ke dalam kubangan WC, tanpa di perintah siapapun Ahmad Ro’i menyelinap ke arah kubangan WC dimaksud, Khaddam itu langsung turun kedalam kubangan sembari mencari cincin dengan tangan telanjang, dalam waktu yang cukup lama akhirnya Ahmad Ro’i menemukan cincin Ibu Nyai dan menyerahkannya kembali kepada Kiyai Moh Hasan setelah cincin itu dibersihkan. Masih banyak kisah-kisah lain mengenai ihwal positif Ahmad Ro’i selama mengabdi di Genggong yang tidak mungkin kami tuliskan dalam profil singkat ini. itulah Ahmad Ro’i sepertinya beliau memang dilahirkan sebagai ibroh dan uswah hasanah (pelajaran positif dan suri tauladan) bagi setiap santri pada generasi berikutnya. Setelah selesai nyantri di Genggong beliau kembali tinggal di Wringin membantu ayahandanya menebarkan ilmu di jalan Allah. Surau sederhana di depan kediamannya menjadi tempat beliau bersama ayahandanya mengajarkan ilmu agama kepada para santri. Hingga kemudian setelah ayahandanya wafat, beliaulah yang meneruskan perjuangan ayahandanya. Lambat laun para santri mulai banyak berdatangan dari segala penjuru guna nyantri kepada Kiyai Husnan hingga dirasa perlu beliau kemudian membangun asrama bagi para santri. Mulailah Kyai Husnan di kenal oleh masyarakat sebagai pengasuh Pondok Pesantren (pada saat itu orang menyebutnya “Pesantren Kiyai Husnan”), Dengan metode salaf beliau mengembangkan pendidikan di Pesantren yang di asuhnya, seperti membaca Al-Qur’an bersama para santri setiap kali selesai Sholat Subuh, mengajar kitab kuning setiap selesai Sholat Maghrib, di samping itu beliau sangat menekankan Sholat berjemaah kepada para santri hingga apabila terdapat santri yang meninggalkan sholat berjamaah tanpa alasan yang jelas beliau tidak segan-segan men-ta’zir-nya. Begitulah Kiyai Husnan, dengan istiqomah dan tidak kenal lelah beliau ngemongi santri-santrinya, beliau menyadari bahwa pengasuh itu hakikatnya adalah pelayan bagi santri-santrinya sebagaimana peminpin hakikatnya pelayan bagi rakyatnya. Pada periode selanjutnya setelah Kiyai Husnan wafat (Tahun 1985) kepemimpinan Pesantren dilanjutkan oleh putra-putri Kiyai Husnan secara kolektif, di antaranya : Pengasuh I. KH Husnan Mutawakkil Ridlwan. Pengasuh II. Ny Hj A’isyah (istri dari KH Ahmad Asy’ari) Pengasuh III. KH Adullah Hafidz. (Alm) Pengasuh IV. KH Saiful Haq. (Alm) Pengasuh V. KH Mukhlishul A’mal. Pengasuh VI. KH Manshur ‘Ainul Yaqin. Pengasuh VII. Ny Hj Sofiyah (istri dari KH Ubaidillah N.Ch) Pengasuh VII. KH Muhammad Mahfudh. Karena dipandang perlu pertama kali putra-putri Kiyai Husnan berinisiatif untuk memberikan nama pada Pesantren peninggalan Kiyai Husnan dengan nama “Roi’yatul Husnan” diambil dari nama kecil Kiyai Husnan yaitu “Ro’i” dan nama putra pertamanya yaitu “Husnan”. Menyadari bahwa zaman menuntut santri tidak hanya paham ilmu agama saja melainkan juga harus menguasai ilmu umum, di bentuklah pendidikan Madrasah Ibtidaiyah (MI) yang tetap lebih menekankan pada pendidikan agama, pada awalnya Madrasah Ibtidaiyah ini merupakan Madrasah cabang Pondok Pesantren Zainul Hasan Genggong dan nama MI “Kholafiyah Syafi’iyah” adalah pemberian dari Kiyai Hasan Saifouridzall yang Alhamdulillah hingga sekarang tetap terabadikan. Inilah fase transisi dimana putra-putri Kiyai Husnan yang sebelumnya terbiasa berdiri di posisi “kanan” (salaf) harus bergeser sedikit ke posisi “tengah” antara Qodimish sholih dan Jadidil Ashlah (antara pendidikan salaf dan pendidikan umum/modern). Dengan tertatih-tatih Madrasah Ibtidaiyah dijalankan sandungan kerikil-kerikil tajam menjadi hikmah tersendiri dalam proses kematangan lembaga ini hingga ahirnya pada saat MI sudah menemukan jati dirinya barulah jajaran Pengasuh merasa perlu untuk mengembangkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi yaitu Madrasah Tsanawiyah (MTs) dan Sekolah Menengah Atas Islam (SMAI) mengingat mayoritas santri yang mondok di Pesantren Ro’iyatul Husnan sebelumnya sudah selesai menempuh pendidikan MI/SD dan MTs/SMP sewaktu di kampung halamannya. Siswa-siswi lembaga pendidikan yang bernaung di bawah Yayasan Pondok Pesantren Ro’iyatul Husnan pada awalnya murni dari para santri yang bermukim di Pondok Pesantren akan tetapi pada perkembangan selanjutnya siswa-siswi yang ada juga input dari putra-putri masyarakat sekitar Pesantren, hal itu semakin menambah pesatnya kemajuan pendidikan tentunya dibarengi dengan pembenahan dan peningkatan kusalitas pendidikan dan sumber daya pengajarnya, sehingga pesantren Ro’iyatul Husnan tidak hanya besar secara kuantitas tapi juga mumpuni dalam kualitas. Sepertinya pencapaian semua itu merupakan buah dari haliyah Kiyai Husnan ketika beliau nyantri di Pondok Pesantren Zainul Hasan Genggong yang ditopang oleh do’a kedua orang tua beliau, hingga dapat di tarik benang merah bahwa Ilmu dan Barokah itu sejatinya berbanding lurus. Wallahu A’lam Bish Shawab. (MG) 4.4/5 - (15 votes)
6 Agustus 2017
Hikmah
Umum
Syeikh Ibnu ‘Atha’illah as-Sakandari (w. 1309 M) hidup di Mesir di masa kekuasaan Dinasti Mameluk. Ia lahir di kota Alexandria (Iskandariyah), lalu pindah ke Kairo. Julukan Al-Iskandari atau As-Sakandari merujuk kota kelahirannya itu. Di kota inilah ia menghabiskan hidupnya dengan mengajar fikih mazhab Imam Maliki di berbagai lembaga intelektual, antara lain Masjid Al-Azhar. Di waktu yang sama dia juga dikenal luas dibidang tasawuf sebagai seorang “master” (syeikh) besar ketiga di lingkungan tarekat sufi Syadziliyah ini. Sejak kecil, Ibnu ‘Atha’illah dikenal gemar belajar. Ia menimba ilmu dari beberapa syekh secara bertahap. Gurunya yang paling dekat adalah Abu Al-Abbas Ahmad ibnu Ali Al-Anshari Al-Mursi, murid dari Abu Al-Hasan Al-Syadzili, pendiri tarikat Al-Syadzili. Dalam bidang fiqih ia menganut dan menguasai Mazhab Maliki, sedangkan di bidang tasawuf ia termasuk pengikut sekaligus tokoh tarikat Al-Syadzili. tergolong ulama yang produktif. Tak kurang dari 20 karya yang pernah dihasilkannya. Meliputi bidang tasawuf, tafsir, aqidah, hadits, nahwu, dan ushul fiqh. Dari beberapa karyanya itu yang paling terkenal adalah kitab al-Hikam. Buku ini disebut-sebut sebagai magnum opusnya. Kitab itu sudah beberapa kali disyarah. Antara lain oleh Muhammad bin Ibrahim ibn Ibad ar Rundi, Syaikh Ahmad Zarruq, dan Ahmad ibn Ajiba. Beberapa kitab lainnya yang ditulis adalah Al-Tanwir fi Isqath al-Tadbir, ‘Unwan at-Taufiq fi’dab al-Thariq, miftah al-Falah dan al-Qaul al-Mujarrad fil al-Ism al-Mufrad. Yang terakhir ini merupakan tanggapan terhadap Syaikhul Islam ibn Taimiyyah mengenai persoalan tauhid. Kedua ulama besar itu memang hidup dalam satu zaman, dan kabarnya beberapa kali terlibat dalam dialog yang berkualitas tinggi dan sangat santun. Ibn Taimiyyah adalah sosok ulama yang tidak menyukai praktek sufisme. Sementara Ibnu ‘Atha’illah dan para pengikutnya melihat tidak semua jalan sufisme itu salah. Karena mereka juga ketat dalam urusan syari’at. Ibn ‘Athaillah dikenal sebagai sosok yang dikagumi dan bersih. Ia menjadi panutan bagi banyak orang yang meniti jalan menuju Tuhan. Menjadi teladan bagi orang-orang yang ikhlas, dan imam bagi para juru nasihat. Ia dikenal sebagai master atau syaikh ketiga dalam lingkungan tarikat Syadzili setelah yang pendirinya Abu al Hasan Asy Syadzili dan penerusnya, Abu Al Abbas Al Mursi. Dan Ibn ‘Athillah inilah yang pertama menghimpun ajaran-ajaran, pesan-pesan, doa dan biografi keduanya, sehingga khazanah tarikat syadziliah tetap terpelihara. Meski ia tokoh kunci di sebuah tarikat, bukan berarti aktifitas dan pengaruh intelektualismenya hanya terbatas di tarekat saja. Buku-buku Ibnu ‘Atha’illah dibaca luas oleh kaum muslimin dari berbagai kelompok, bersifat lintas mazhab dan tarikat, terutama kitab Al Hikam yang melegenda ini. Pengarang kitab al-Hikam yang cukup populer di negeri kita ini adalah Tajuddin, Abu al-Fadl, Ahmad bin Muhammad bin Abd al-Karim bin Atho’ al-Sakandari al-Judzami al-Maliki al-Syadzili. Ia berasal dari bangsa Arab. Nenek moyangnya berasal dari Judzam yaitu salah satu Kabilah Kahlan yang berujung pada Bani Ya’rib bin Qohton, bangsa Arab yang terkenal dengan Arab al-Aa’ribah. Kota Iskandariah merupakan kota kelahiran sufi besar ini. Suatu tempat di mana keluarganya tinggal dan kakeknya mengajar. Kendatipun namanya hingga kini demikian harum, namun kapan sufi agung ini dilahirkan tidak ada catatan yang tegas. Dengan menelisik jalan hidupnya DR. Taftazani bisa menengarai bahwa ia dilahirkan sekitar tahun 658 sampai 679 H. Ayahnya termasuk semasa dengan Syaikh Abu al-Hasan al-Syadili -pendiri Thariqah al-Syadziliyyah-sebagaimana diceritakan Ibnu Atho’ dalam kitabnya “Lathoiful Minan “ : “Ayahku bercerita kepadaku, suatu ketika aku menghadap Syaikh Abu al-Hasan al-Syadzili, lalu aku mendengar beliau mengatakan: “Demi Allah… kalian telah menanyai aku tentang suatu masalah yang tidak aku ketahui jawabannya, lalu aku temukan jawabannya tertulis pada pena, tikar dan dinding”. Keluarga Ibnu Atho’ adalah keluarga yang terdidik dalam lingkungan agama, kakek dari jalur nasab ayahnya adalah seorang ulama fiqih pada masanya. Tajuddin remaja sudah belajar pada ulama tingkat tinggi di Iskandariah seperti al-Faqih Nasiruddin al-Mimbar al-Judzami. Kota Iskandariah pada masa Ibnu Atho’ memang salah satu kota ilmu di semenanjung Mesir, karena Iskandariah banyak dihiasi oleh banyak ulama dalam bidang fiqih, hadits, usul, dan ilmu-ilmu bahasa Arab, tentu saja juga memuat banyak tokoh-tokoh tasawwuf dan para Auliya’ Sholihin Oleh karena itu tidak mengherankan bila Ibnu Atho’illah tumbuh sebagai seorang faqih, sebagaimana harapan dari kakeknya. Namun kefaqihannya terus berlanjt sampai pada tingkatan tasawuf. Hal mana membuat kakeknya secara terang-terangan tidak menyukainya. Ibnu Atho’ menceritakan dalam kitabnya “Lathoiful minan” : “Bahwa kakeknya adalah seorang yang tidak setuju dengan tasawwuf, tapi mereka sabar akan serangan dari kakeknya. Di sinilah guru Ibnu Atho’ yaitu Abul Abbas al-Mursy mengatakan: “Kalau anak dari seorang alim fiqih Iskandariah (Ibnu Atho’illah) datang ke sini, tolong beritahu aku”, … dan ketika aku datang, al-Mursi mengatakan: “Malaikat jibril telah datang kepada Nabi bersama dengan malaikat penjaga gunung ketika orang quraisy tidak percaya pada Nabi. Malaikat penjaga gunung lalu menyalami Nabi dan mengatakan: ” Wahai Muhammad.. kalau engkau mau, maka aku akan timpakan dua gunung pada mereka”. Dengan bijak Nabi mengatakan : ” Tidak… aku mengharap agar kelak akan keluar orang-orang yang bertauhid dan tidak musyrik dari mereka”. Begitu juga, kita harus sabar akan sikap kakek yang alim fiqih (kakek Ibnu Atho’illah) demi orang yang alim fiqih ini”. Pada akhirnya Ibn Atho’ memang lebih terkenal sebagai seorang sufi besar. Namun menarik juga perjalanan hidupnya, dari didikan yang murni fiqh sampai bisa memadukan fiqh dan tasawuf. Oleh karena itu buku-buku biografi menyebutkan riwayat hidup Atho’illah menjadi tiga masa: Masa pertama Syeikh Ibn ‘Atha’illah as-Sakandari Masa ini dimulai ketika ia tinggal di Iskandariah sebagai pencari ilmu agama seperti tafsir, hadits, fiqih, usul, nahwu dan lain-lain dari para alim ulama di Iskandariah. Pada periode itu beliau terpengaruh pemikiran-pemikiran kakeknya yang mengingkari para ahli tasawwuf karena kefanatikannya pada ilmu fiqih, dalam hal ini Ibnu Atho’illah bercerita: “Dulu aku adalah termasuk orang yang mengingkari Abu al-Abbas al-Mursi, yaitu sebelum aku menjadi murid beliau”. Pendapat saya waktu itu bahwa yaang ada hanya ulama ahli dzahir, tapi mereka (ahli tasawwuf) mengklaim adanya hal-hal yang besar, sementara dzahir syariat menentangnya”. Masa kedua Syeikh Ibnu ‘Atha’illah as-Sakandari Masa ini merupakan masa paling penting dalam kehidupan sang guru pemburu kejernihan hati ini. Masa ini dimulai semenjak ia bertemu dengan gurunya, Abu al-Abbas al-Mursi, tahun 674 H, dan berakhir dengan kepindahannya ke Kairo. Dalam masa ini sirnalah keingkarannya ulama’ tasawwuf. Ketika bertemu dengan al-Mursi, ia jatuh kagum dan simpati. Akhirnya ia mengambil Thariqah langsung dari gurunya ini. Ada cerita menarik mengapa ia beranjak memilih dunia tasawuf ini. Suatu ketika Ibn Atho’ mengalami goncangan batin, jiwanya tertekan. Dia bertanya-tanya dalam hatinya : “apakah semestinya aku membenci tasawuf. Apakah suatu yang benar kalau aku tidak menyukai Abul Abbas al-Mursi ?. setelah lama aku merenung, mencerna akhirnya aku beranikan diriku untuk mendekatnya, melihat siapa al-Mursi sesungguhnya, apa yang ia ajarkan sejatinya. Kalau memang ia orang baik dan benar maka semuanya akan kelihatan. Kalau tidak demikian halnya biarlah ini menjadi jalan hidupku yang tidak bisa sejalan dengan tasawuf. Lalu aku datang ke majlisnya. Aku mendengar, menyimak ceramahnya dengan tekun tentang masalah-masalah syara’. Tentang kewajiban, keutamaan dan sebagainya. Di sini jelas semua bahwa ternyat al-Mursi yang kelak menjadi guru sejatiku ini mengambil ilmu langsung dari Tuhan. Dan segala puji bagi Allah, Dia telah menghilangkan rasa bimbang yang ada dalam hatiku”. Maka demikianlah, ketika ia sudah mencicipi manisnya tasawuf hatinya semakin tertambat untuk masuk ke dalam dan lebih dalam lagi. Sampai-sampai ia punya dugaan tidak akan bisa menjadi seorang sufi sejati kecuali dengan masuk ke dunia itu secara total, menghabiskan seluruh waktunya untuk sang guru dan meningalkan aktivitas lain. Namun demikian ia tidak berani memutuskan keinginannya itu kecuali setelah mendapatkan izin dari sang guru al-Mursi. Dalam hal ini Ibnu ‘Atha’illah menceritakan : “Aku menghadap guruku al-Mursi, dan dalam hatiku ada keinginan untuk meninggalkan ilmu dzahir. Belum sempat aku mengutarakan apa yang terbersit dalam hatiku ini tiba-tiba beliau mengatakan : “Di kota Qous aku mempunyai kawan namanya Ibnu Naasyi’. Dulu dia adalah pengajar di Qous dan sebagai wakil penguasa. Dia merasakan sedikit manisnya tariqah kita. Kemudian ia menghadapku dan berkata : “Tuanku… apakah sebaiknya aku meninggalkan tugasku sekarang ini dan berkhidmat saja pada tuan?”. Aku memandangnya sebentar kemudian aku katakan : “Tidak demikian itu tariqah kita. Tetaplah dengan kedudukan yang sudah di tentukan Allah padamu. Apa yang menjadi garis tanganmu akan sampai padamu juga”. Setelah bercerita semacam itu yang sebetulnya adalah nasehat untuk diriku beliau berkata: “Beginilah keadaan orang-orang al-Siddiqiyyin. Mereka sama sekali tidak keluar dari suatu kedudukan yang sudah ditentukan Allah sampai Dia sendiri yang mengeluarkan mereka”. Mendengar uraian panjang lebar semacam itu aku tersadar dan tidak bisa mengucapkan sepatah katapun. Dan alhamdulillah Allah telah menghapus angan kebimbangan yang ada dalam hatiku, sepertinya aku baru saja melepas pakaianku. Aku pun rela tenang dengan kedudukan yang diberikan oleh Allah”. Masa ketiga Syeikh Ibnu ‘Atha’illah as-Sakandari Masa ini dimulai semenjak kepindahan Ibn Atho’ dari Iskandariah ke Kairo. Dan berakhir dengan kepindahannya ke haribaan Yang Maha Asih pada tahun 709 H. Masa ini adalah masa kematangan dan kesempurnaan Ibnu Atho’illah dalam ilmu fiqih dan ilmu tasawwuf. Ia membedakan antara Uzlah dan kholwah. Uzlah menurutnya adalah pemutusan (hubungan) maknawi bukan hakiki, lahir dengan makhluk, yaitu dengan cara si Salik (orang yang uzlah) selalu mengontrol dirinya dan menjaganya dari perdaya dunia. Ketika seorang sufi sudah mantap dengan uzlah-nya dan nyaman dengan kesendiriannya ia memasuki tahapan khalwah. Dan khalwah dipahami dengan suatu cara menuju rahasia Tuhan, kholwah adalah perendahan diri dihadapan Allah dan pemutusan hubungan dengan selain Allah SWT. Menurut Ibnu Atho’illah, ruangan yang bagus untuk ber-khalwah adalah yang tingginya, setinggi orang yang berkhalwat tersebut. Panjangnya sepanjang ia sujud. Luasnya seluas tempat duduknya. Ruangan itu tidak ada lubang untuk masuknya cahaya matahari, jauh dari keramaian, pintunya rapat, dan tidak ada dalam rumah yang banyak penghuninya. Ibnu Atho’illah sepeninggal gurunya Abu al-Abbas al-Mursi tahum 686 H, menjadi penggantinya dalam mengembangkan Tariqah Syadziliah. Tugas ini ia emban di samping tugas mengajar di kota Iskandariah. Maka ketika pindah ke Kairo, ia bertugas mengajar dan ceramah di Masjid al-Azhar. Ibnu Hajar berkata: “Ibnu Atho’illah berceramah di Azhar dengan tema yang menenangkan hati dan memadukan perkatan-perkatan orang kebanyakan dengan riwayat-riwayat dari salafus soleh, juga berbagai macam ilmu. Maka tidak heran kalau pengikutnya berjubel dan beliau menjadi simbol kebaikan”. Hal senada diucapkan oleh Ibnu Tagri Baradi : “Ibnu Atho’illah adalah orang yang sholeh, berbicara di atas kursi Azhar, dan dihadiri oleh hadirin yang banyak sekali. Ceramahnya sangat mengena dalam hati. Dia mempunyai pengetahuan yang dalam akan perkataan ahli hakekat dan orang orang ahli tariqah”. Termasuk tempat mengajar beliau adalah Madrasah al-Mansuriah di Hay al-Shoghoh. Beliau mempunyai banyak anak didik yang menjadi seorang ahli fiqih dan tasawwuf, seperti Imam Taqiyyuddin al-Subki, ayah Tajuddin al-Subki, pengarang kitab “Tobaqoh al-syafi’iyyah al-Kubro”. Sebagai seoarang sufi yang alim Ibn Atho’ meninggalkan banyak karangan sebanyak 22 kitab lebih. Mulai dari sastra, tasawuf, fiqh, nahwu, mantiq, falsafah sampai khitobah. Kitabnya yang paling masyhur sehingga telah menjadi terkenal di seluruh dunia Islam ialah kitabnya yang bernama Hikam, yang telah diberikan komentar oleh beberapa orang ulama di kemudian hari dan yang juga telah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa asing lain, termasuklah bahasa Melayu dan bahasa Indonesia. Beberapa kitab lainnya yang ditulis adalah Al-Tanwir fi Isqath Al-Tadbir, Unwan At-Taufiq fi’dab Al-Thariq, Miftah Al-Falah dan Al-Qaul Al-Mujarrad fil Al-Ism Al-Mufrad. Yang terakhir ini merupakan tanggapan terhadap Syekhul Islam ibnu Taimiyyah mengenai persoalan tauhid. Kedua ulama besar itu memang hidup dalam satu zaman, dan kabarnya beberapa kali terlibat dalam dialog yang berkualitas tinggi dan sangat santun. Ibnu Taimiyyah adalah sosok ulama yang tidak menyukai praktek sufisme. Sementara Ibnu Atha’illah dan para pengikutnya melihat tidak semua jalan sufisme itu salah. Karena mereka juga ketat dalam urusan syari’at. Ibnu Atha’illah dikenal sebagai sosok yang dikagumi dan bersih. Ia menjadi panutan bagi banyak orang yang meniti jalan menuju Tuhan. Menjadi teladan bagi orang-orang yang ikhlas, dan imam bagi para juru nasihat. Al-Hikam Ibnu ‘Atha’illah Kitab ini dikenali juga dengan nama al-Hikam al-Ata’illah untuk membezakannya daripada kitab-kitab lain yang juga berjudul Hikam. Syekh Ibnu Atha’illah menghadirkan Kitab Al-Hikam dengan sandaran utama pada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Guru besar spiritualisme ini menyalakan pelita untuk menjadi penerang bagi setiap salik, menunjukkan segala aral yang ada di setiap kelokan jalan, agar kita semua selamat menempuhnya. Kitab Al-Hikam merupakan ciri khas pemikiran Ibnu Atha’illah, khususnya dalam paradigma tasawuf. Di antara para tokoh sufi yang lain seperti Al-Hallaj, Ibnul Arabi, Abu Husen An-Nuri, dan para tokoh sufisme falsafi yang lainnya, kedudukan pemikiran Ibnu Atha’illah bukan sekedar bercorak tasawuf falsafi yang mengedepankan teologi. Tetapi diimbangi dengan unsur-unsur pengamalan ibadah dan suluk, artinya di antara syari’at, tarikat dan hakikat ditempuh dengan cara metodis. Corak Pemikiran Ibnu Atha’illah dalam bidang tasawuf sangat berbeda dengan para tokoh sufi lainnya. Ia lebih menekankan nilai tasawuf pada ma’rifat. Adapun pemikiran-pemikiran tarikat tersebut adalah: Pertama, tidak dianjurkan kepada para muridnya untuk meninggalkan profesi dunia mereka. Dalam hal pandangannya mengenai pakaian, makanan, dan kendaraan yang layak dalam kehidupan yang sederhana akan menumbuhkan rasa syukur kepada Allah dan mengenal rahmat Illahi. “Meninggalkan dunia yang berlebihan akan menimbulkan hilangnya rasa syukur. Dan berlebih-lebihan dalam memanfaatkan dunia akan membawa kepada kezaliman. Manusia sebaiknya menggunakan nikmat Allah SWT dengan sebaik-baiknya sesuai petunjuk Allah dan Rasul-Nya,” kata Ibnu Atha’illah. Kedua, tidak mengabaikan penerapan syari’at Islam. Ia adalah salah satu tokoh sufi yang menempuh jalur tasawuf hampir searah dengan Al-Ghazali, yakni suatu tasawuf yang berlandaskan kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Mengarah kepada asketisme, pelurusan dan penyucian jiwa (tazkiyah an-nafs), serta pembinaan moral (akhlak), suatu nilai tasawuf yang dikenal cukup moderat. Ketiga, zuhud tidak berarti harus menjauhi dunia karena pada dasarnya zuhud adalah mengosongkan hati selain daripada Tuhan. Dunia yang dibenci para sufi adalah dunia yang melengahkan dan memperbudak manusia. Kesenangan dunia adalah tingkah laku syahwat, berbagai keinginan yang tak kunjung habis, dan hawa nafsu yang tak kenal puas. “Semua itu hanyalah permainan (al-la’b) dan senda gurau (al-lahwu) yang akan melupakan Allah. Dunia semacam inilah yang dibenci kaum sufi,” ujarnya. Keempat, tidak ada halangan bagi kaum salik untuk menjadi miliuner yang kaya raya, asalkan hatinya tidak bergantung pada harta yang dimiliknya. Seorang salik boleh mencari harta kekayaan, namun jangan sampai melalaikan-Nya dan jangan sampai menjadi hamba dunia. Seorang salik, kata Atha’illah, tidak bersedih ketika kehilangan harta benda dan tidak dimabuk kesenangan ketika mendapatkan harta. Kelima, berusaha merespons apa yang sedang mengancam kehidupan umat, berusaha menjembatani antara kekeringan spiritual yang dialami orang yang hanya sibuk dengan urusan duniawi, dengan sikap pasif yang banyak dialami para salik. Keenam, tasawuf adalah latihan-latihan jiwa dalam rangka ibadah dan menempatkan diri sesuai dengan ketentuan Allah. Bagi Syekh Atha’illah, tasawuf memiliki empat aspek penting yakni berakhlak dengan akhlak Allah SWT, senantiasa melakukan perintah-Nya, dapat menguasai hawa nafsunya serta berupaya selalu bersama dan berkekalan dengan-Nya secara sunguh-sungguh. Ketujuh, dalam kaitannya dengan ma’rifat Al-Syadzili, ia berpendapat bahwa ma’rifat adalah salah satu tujuan dari tasawuf yang dapat diperoleh dengan dua jalan; mawahib, yaitu Tuhan memberikannya tanpa usaha dan Dia memilihnya sendiri orang-orang yang akan diberi anugerah tersebut; dan makasib, yaitu ma’rifat akan dapat diperoleh melalui usaha keras seseorang, melalui ar-riyadhah, dzikir, wudhu, puasa ,sahalat sunnah dan amal shalih lainnya. Karomah Ibnu ‘Atha’illah Al-Munawi dalam kitabnya “Al-Kawakib al-durriyyah mengatakan: “Syaikh Kamal Ibnu Humam ketika ziarah ke makam wali besar ini membaca Surat Hud sampai pada ayat yang artinya: “Diantara mereka ada yang celaka dan bahagia…”. Tiba-tiba terdengar suara dari dalam liang kubur Ibn Athoillah dengan keras: “Wahai Kamal… tidak ada diantara kita yang celaka”. Demi menyaksikan karomah agung seperti ini Ibnu Humam berwasiat supaya dimakamkan dekat dengan Ibnu Atho’illah ketika meninggal kelak. Di antara karomah pengarang kitab al-Hikam adalah, suatu ketika salah satu murid beliau berangkat haji. Di sana si murid itu melihat Ibn Athoillah sedang thawaf. Dia juga melihat sang guru ada di belakang maqam Ibrahim, di Mas’aa dan Arafah. Ketika pulang, dia bertanya pada teman-temannya apakah sang guru pergi haji atau tidak. Si murid langsung terperanjat ketiak mendengar teman-temannya menjawab “Tidak”. Kurang puas dengan jawaban mereka, dia menghadap sang guru. Kemudian pembimbing spiritual ini bertanya : “Siapa saja yang kamu temui ?” lalu si murid menjawab : “Tuanku… saya melihat tuanku di sana “. Dengan tersenyum al-arif billah ini menerangkan : “Orang besar itu bisa memenuhi dunia. Seandainya saja Wali Qutb di panggil dari liang tanah, dia pasti menjawabnya”. Wafatnya Syeikh Ibnu ‘Atha’illah as-Sakandari Tahun 709 H adalah tahun kemalangan dunia maya ini. Karena tahun tersebut wali besar yang tetap abadi nama dan kebaikannya ini harus beralih ke alam barzah, lebih mendekat pada Sang Pencipta. Namun demikian madrasah al-Mansuriyyah cukup beruntung karena di situlah jasad mulianya berpisah dengan sang nyawa. Ribuan pelayat dari Kairo dan sekitarnya mengiring kekasih Allah ini untuk dimakamkan di pemakaman al-Qorrofah al-Kubro. sumber http://tasawuf.blog.com/2010/04/syekh-ibnu-athaillah/ 4.4/5 - (24 votes)
5 Juli 2017
Umum
Figur
Hikmah
Taushiyah
Umum
BAGI kalangan masyarakat Jawa Timur, sosok K.H. Moh. Hasan Genggong, Kecamatan Pajarakan, Kabupaten Prooblinggo, tentulah tidak asing. Pria yang memiliki nama lahir Muhammad Hasan, tersebut dikenal sebagai tokoh spiritual, ulama besar, serta pendiri pesantren besar yang zuhud, ringan tangan, dan memiliki empati tinggi terhadap sesama. Kiai Hasan Genggong lahir pada 27 Rajab 1259 Hijriah atau 23 Agustus 1840 Miladiah, bertepatan dengan peringatan Isra Mikraj Nabi Muhammad SAW. Meski terlahir sebagai anak tukang pembuat genting di Desa Sentong, Kecamatan Krejengan, Kabupaten Prooblinggo, tidak serta merta menyurutkan Muhammad Hasan dalam menuntut ilmu. Jejak kesantrian Kiai Hasan Genggong dimulai sejak usia belia sampai dewasa. Dari mondok di sejumlah pesantren di tanah air, berlanjut nyantri ke Makkah dan Madinah. Selepas menuntaskan belajar, Kiai Hasan Genggong diambil menantu oleh Pendiri Pesanten Zainul Haan Genggong K.H Zainul Abidin. Sebuah pesantren yang berdiri sejak 1839 Masehi. Pasca wafatnya sang mertua, Kiai Hasan Genggong mendapat amanat meneruskan titah perjuangan. Di bawah didikan beliau, lahir ulama-ulama besar yang tersebar di mana-mana. Kiai Hasan Genggong mendidik santri di Pesantren Genggong selama 87 Tahun. Di kalangan ulama sepuh Nahdlatul Ulama (NU), Kiai Hasan Genggong senantiasa dijadikan sebagai sosok yang selalu diminta nasihat dan pertimbangan persoalan NU dan umat. Saat proses awal pendirian organisasi NU, almarhum Kiai Hasan Genggong juga diminta pendapat dan nasihat oleh almarhum K.H. Wahab Hasbullah; K.H. As’ad Syamsul Arifin; dan para pendiri NU yang lain atas rekomendasi dari Syaikhona Kholil Bangkalan dan hadratus Syeikh K.H. Hasyim Asy’ari. Kiai Hasan Sepuh yang dikenal sebagai sosok ulama dengan kezuhudannya, selalu menjadi tempat rujukan ketika ulama pendiri NU akan mengambil keputusan. Ketika NU lahir pada 1926 pada saat bumi nusantara masih dicengkeram penjajah Belanda, Kiai Hasan Genggong menjadikan Pesantren Genggong sebagai basis perjuangan kemerdekaan. Sosok Kiai Hasan Genggong memang bermental baja, percaya diri, ditakuti penjajah dan dikenal apa adanya. Segala bujuk rayu dan siasat Belanda tak mampu menembus hati Kiai Hasan Genggong. Suatu ketika, ada seorang ulama yang sowan ke Kiai Hasan Genggong, berniat tabayun mengenai hukum melawan penjajah. Belum sempat pertanyaan diajukan, Kiai Hasan Genggong saat menemui sang tamu itu menggunakan peci hitam dan membawa keris. Mendapati perbuatan yang sangat jarang Kiai Hasan Genggong, itu sang tamu dengan bangga merasa sudah menemukan jawaban tanpa harus mengajukan pertanyaan. Kiai Hasan Genggong pernah menyatakan bahwa berjuang ikhlas di NU akan mendapatkan keselamatan dunia dan akhirat. Insya Allah. “من اعان نهضةالعلماء، فقد سعد فى الدنيا والأخرة” “Barang siapa yang menolong (berjuang ikhlas) NU, maka hidup beruntung di dunia dan di akhirat”. Ketua Tanfidziyah PW NU Jatim K.H Moh. Hasan Mutawakkil Alallah menyatakan, para wali Allah merupakan owner (pemilik) NU. Karena itu, siapa saja yang menjadikan NU sebagai ajang untuk mencari keuntungan pribadi dan mempermainkan Jamiyyah NU, akan dilaknat Allah, Rasul, dan para wali serta muassis NU. Sebagai ormas Islam yang didirikan oleh para ulama besar pada zamannya, NU menjadi medium dakwah Islam ahlussunnah wal jamaah yang senyatanya memang mendapatkan doa, dukungan, dan rida para hamba Allah yang dikenal salih, memiliki kebeningan hati, dan kealiman luar biasa. Kiai Hasan Genggong juga merupakan sosok ulama yang produktif menulis kitab, yang meliputi bidang-bidang fiqih, tauhid, tasawuf, tafsir, dan hadis. Salah satu karyanya kitab Safinatun Najah. Karomahnya tak terhitung, semua orang mendambakan menjadi orang yang bisa diakui sebagai santrinya. Kiai Hasan Genggong wafat Kamis 11 Syawal 1374 Hijriah atau 1 juni 1955 Miladiah, sekitar pukul 23.30 WIB. Beliau waafat pada usia 115 tahun. (susi/yex) 4.4/5 - (9 votes)