16 Mei 2018
Hikmah
Sebagai mana kita ketahui setelah Islamnya Umar Bin Khatab, ia dikenal sebagai orang terdepan yang selalu membela Nabi Muhammad SAW dan ajaran Islam pada setiap kesempatan yang ada bahkan ia tanpa ragu menentang kawan-kawan lamanya yang dulu bersama mereka ia ikut menyiksa para pengikutnya Nabi Muhammad SAW. Umar diangkat menjadi Khalifah setelah mengantikan Khalifah pertama Abu Bakar AS-Siddiq. Dia adalah khalifah yang disayangi oleh Umat. Dia dikenal sebagai pemimpin yang adil dan penyayang kepada umat. Dia juga pemimpin pelindung pada kaum minoritas. Dalam suatu riwayat dikisahkan di masa kepemimpinan beliau, Mesir dipimpin oleh seorang Gubernur yang kehidupannya sangat kaya bagaikan kaisar. Ia bernama Amr bin Ash. Saat itu sang gubernur ingin membangun sebuah masjid di samping istananya yang megah, tetapi di wilayah akan dibangunnya masjid, ada gubuk reyot milik seorang yahudi. Gubernur Amr bin ‘Ash lalu memanggil orang Yahudi itu dan meminta agar dia mau menjual gubuknya. Akan tetapi orang Yahudi itu tidak berniat untuk menjualnya. Kemudian gubernur Amr bin ‘Ash memberikan penawaran yang cukup tinggi dengan harga lima belas kali lipat dari harga pasaran, tetapi tetap saja orang Yahudi itu menolak untuk menjualnya. Gubernur Amr bin ‘Ash kesal dan akhirnya karena berbagai cara telah dilakukan dan hasilnya buntu, maka sang gubernur pun menggunakan kekuasaannya dengan memerintahkan bawahannya untuk menyiapkan surat pembongkaran dan akan menggusur paksa lahan tersebut. Sementara si Yahudi tua itu tidak bisa berbuat apa-apa selain menangis dan kemudian dia berniat untuk mengadukan kesewenang-wenangan gubernur Mesir itu pada Khalifah Umar bin Khattab. Di sepanjang jalan menuju Madinah, Yahudi itu berpikir bagaimana sosok sang khalifah, apakah ia sama sikapnya dengan sang gubernur. Hingga akhirnya ia sampai di kota Madinah. Ia bertemu dengan seorang pria yang duduk di bawah pohon kurma. Ia bertanya, “ Wahai tuan, tahukah anda dimana khalifah?” Lelaki itu menjawab, “Ada apa kau mencarinya?” “Aku ingin mengadukan sesuatu.” Jawabnya. Ia bertanya lagi, “Dimanakah istananya?”. “Ada diatas lumpur.”jawab lelaki itu. Yahudi itu bingung atas jawabannya kemudian ia bertanya lagi, “Lalu, siapa pengawalnya?” “Pengawalnya orang-orang miskin, anak yatim dan janda-janda tua.”. Yahudi itu bertanya lagi, “Lalu pakaian kebesarannya apa?”. “Pakaian kebesarannya adalah malu dan taqwa.” Yahudi itu bertanya lagi,”Dimana ia sekarang?” Lelaki itu menjawab, “Ada di depan engkau.” Sungguh kaget Yahudi itu. Ternyata yang sejak tadi ia tanya adalah seorang Khalifah, ia ceritakan segala apa yang dilakukan oleh Gubernur Mesir padanya. Laporan tersebut membuat Khalifah Umar bin Khattab marah dan wajahnya menjadi merah padam. Setelah amarahnya mereda, kemudian orang Yahudi itu diminta untuk mengambil tulang belikat unta dari tempat sampah, lalu diserahkannya tulang itu kepada Khalifah Umar bin Khattab. Khalifah Umar bin Khattab kemudian menggores tulang tersebut dengan huruf alif yang lurus dari atas ke bawah dan di tengah goresan itu ada lagi goresan melintang menggunakan ujung pedang, lalu tulang itu pun diserahkan kembali kepada orang Yahudi tersebut sambil berpesan: “Bawalah tulang ini baik-baik ke Mesir dan berikanlah kepada Gubernur Amr bin ‘Ash”, jelas Khalifah Umar bin Khattab. Si Yahudi itu kebingungan ketika diminta untuk membawa tulang yang telah digores dan memberikannya kepada Gubernur Amr bin ‘Ash. Gubernur Amr bin ‘Ash yang menerima tulang tersebut, langsung tubuhnya menggigil kedinginan serta wajahnya pucat pasi. Saat itu juga Gubernur Amr bin ‘Ash mengumpulkan rakyatnya untuk membongkar kembali masjid yang sedang dibangun dan membangun kembali gubuk yang reyot milik orang Yahudi itu. “Bongkar masjid itu!”, teriak Gubernur Amr bin Ash gemetar. Orang Yahudi itu merasa heran dan tidak mengerti tingkah laku Gubernur. “Tunggu!” teriak orang Yahudi itu. “Maaf Tuan, tolong jelaskan perkara pelik ini. Berasal dari apakah tulang itu? Apa keistimewaan tulang itu, sehingga Tuan berani memutuskan untuk membongkar begitu saja bangunan yang amat mahal ini. Sungguh saya tidak mengerti!”, kata orang Yahudi itu lagi. Gubernur Amr bin Ash memegang pundak orang Yahudi itu sambil berkata: “Wahai kakek, tulang ini hanyalah tulang biasa dan baunya pun busuk.” “Mengapa ini bisa terjadi. Aku hanya mencari keadilan di Madinah dan hanya mendapat sebongkah tulang yang busuk. Mengapa dari benda busuk tersebut itu gubernur menjadi ketakutan?” kata orang Yahudi itu. “Tulang ini merupakan peringatan keras terhadap diriku dan tulang ini merupakan ancaman dari Khalifah Umar bin Khattab. Artinya, “Apa pun pangkat dan kekuasaanmu suatu saat kamu akan bernasib sama seperti tulang ini, karena itu bertindak adillah kamu seperti huruf alif yang lurus. Adil di atas dan adil di bawah. Sebab kalau kamu tidak bertindak adil dan lurus seperti goresan tulang ini, maka Khalifah tidak segan-segan untuk memenggal kepala saya”, jelas Gubernur Amr bin ‘Ash. Orang Yahudi itu tunduk terharu dan terkesan dengan keadilan dalam Islam. “Sungguh agung ajaran agama Tuan. Sungguh aku rela menyerahkan tanah dan gubuk itu. Bimbinglah aku dalam memahami ajaran Islam!”. Yahudi itu mengucapkan syahadat dan ia mengikhlaskan gubuknya sebagai area masjid. Itulah Khalifah Umar, seorang Yahudi masuk islam berkat keadilan dari Umar. Sumber: akhwatmuslimah.com 3.8/5 - (6 votes)
10 Agustus 2017
Figur
Hikmah
KH. Husnan Ketika memasuki kawasan Bondowoso dari arah utara kita akan melewati jalan menanjak yang berliuk-liuk, itulah gunung arak-arak yang merupakan batas teretorial antara kabupaten Bondowoso dan Situbondo, melangkah lebih jauh kearah selatan kurang lebih 5 kilometer kita akan menjumpai desa Wringin yang merupakan tanah kelahiran seorang Ulama yang menjadi icont ”Barokah” mengingat kedudukan yang disandangkan oleh Allah kepadanya disinyalir buah (barokah) dari khidmah (pengabdian) beliau kepada sang guru sewaktu beliau nyantri di Pondok Pesantren Zainul Hasan Genggong Probolinggo, beliau adalah KH. Husnan Bin Muhsin Pengasuh Pondok Pesantren Roi’yatul Husnan. Ahmad Ro’i atau lebih dikenal dengan sebutan Bindhereh Madra’i (bahasa madura) nama kecil Kyai Husnan lahir dari keluarga yang secara finansial serba kekurangan namun demikian beliau adalah pemuda yang sabar dan tegar menerima keadaan. Sebagai putra dari seorang Pengasuh Musholla Ahmad Ro’i merasa perlu membekali dirinya dengan Ilmu agama hal itu terlihat ketika Ahmad Ro’i mulai beranjak dewasa beliau memohon restu kepada ayahandanya untuk mengabdikan hidupnya di Pondok Pesantren Zainul Hasan Genggong guna memperdalam ilmu agama, setelah mendapatkan restu dengan kemantapan hati dan niat yang luhur Ahmad Ro’i berangkat menuju ke Genggong dengan berjalan kaki dalam jarak tempuh sekitar 60 Kilometer dan membawa perbekalan seadanya, beliau menjalani kesehariannya dengan kondisi yang memprihatinkan, akan tetapi beliau tidak pernah menyerah pada keadaan, sepertinya beliau sudah sangat terlatih hidup serba kekurangan, dengan semangat yang berkobar beliau tetap komitmen dan konsisten pada apa yang menjadi niatnya semula yaitu mencari ilmu Allah. Sisi lain dari perjalanan Ahmad Ro’i dalam tholabul ‘ilmi sebagian besar waktunya beliau isi dengan ber-khidmah kepada sang guru, dengan dedikasi yang tinggi Ahmad Ro’i begitu telaten melayani setiap hajat gurunya hingga pada urusan dapur. Al Kisah, Sewaktu Kyai Moh Hasan Genggong menceritakan kepada para santri bahwa cincin Ibu Nyai jatuh ke dalam kubangan WC, tanpa di perintah siapapun Ahmad Ro’i menyelinap ke arah kubangan WC dimaksud, Khaddam itu langsung turun kedalam kubangan sembari mencari cincin dengan tangan telanjang, dalam waktu yang cukup lama akhirnya Ahmad Ro’i menemukan cincin Ibu Nyai dan menyerahkannya kembali kepada Kiyai Moh Hasan setelah cincin itu dibersihkan. Masih banyak kisah-kisah lain mengenai ihwal positif Ahmad Ro’i selama mengabdi di Genggong yang tidak mungkin kami tuliskan dalam profil singkat ini. itulah Ahmad Ro’i sepertinya beliau memang dilahirkan sebagai ibroh dan uswah hasanah (pelajaran positif dan suri tauladan) bagi setiap santri pada generasi berikutnya. Setelah selesai nyantri di Genggong beliau kembali tinggal di Wringin membantu ayahandanya menebarkan ilmu di jalan Allah. Surau sederhana di depan kediamannya menjadi tempat beliau bersama ayahandanya mengajarkan ilmu agama kepada para santri. Hingga kemudian setelah ayahandanya wafat, beliaulah yang meneruskan perjuangan ayahandanya. Lambat laun para santri mulai banyak berdatangan dari segala penjuru guna nyantri kepada Kiyai Husnan hingga dirasa perlu beliau kemudian membangun asrama bagi para santri. Mulailah Kyai Husnan di kenal oleh masyarakat sebagai pengasuh Pondok Pesantren (pada saat itu orang menyebutnya “Pesantren Kiyai Husnan”), Dengan metode salaf beliau mengembangkan pendidikan di Pesantren yang di asuhnya, seperti membaca Al-Qur’an bersama para santri setiap kali selesai Sholat Subuh, mengajar kitab kuning setiap selesai Sholat Maghrib, di samping itu beliau sangat menekankan Sholat berjemaah kepada para santri hingga apabila terdapat santri yang meninggalkan sholat berjamaah tanpa alasan yang jelas beliau tidak segan-segan men-ta’zir-nya. Begitulah Kiyai Husnan, dengan istiqomah dan tidak kenal lelah beliau ngemongi santri-santrinya, beliau menyadari bahwa pengasuh itu hakikatnya adalah pelayan bagi santri-santrinya sebagaimana peminpin hakikatnya pelayan bagi rakyatnya. Pada periode selanjutnya setelah Kiyai Husnan wafat (Tahun 1985) kepemimpinan Pesantren dilanjutkan oleh putra-putri Kiyai Husnan secara kolektif, di antaranya : Pengasuh I. KH Husnan Mutawakkil Ridlwan. Pengasuh II. Ny Hj A’isyah (istri dari KH Ahmad Asy’ari) Pengasuh III. KH Adullah Hafidz. (Alm) Pengasuh IV. KH Saiful Haq. (Alm) Pengasuh V. KH Mukhlishul A’mal. Pengasuh VI. KH Manshur ‘Ainul Yaqin. Pengasuh VII. Ny Hj Sofiyah (istri dari KH Ubaidillah N.Ch) Pengasuh VII. KH Muhammad Mahfudh. Karena dipandang perlu pertama kali putra-putri Kiyai Husnan berinisiatif untuk memberikan nama pada Pesantren peninggalan Kiyai Husnan dengan nama “Roi’yatul Husnan” diambil dari nama kecil Kiyai Husnan yaitu “Ro’i” dan nama putra pertamanya yaitu “Husnan”. Menyadari bahwa zaman menuntut santri tidak hanya paham ilmu agama saja melainkan juga harus menguasai ilmu umum, di bentuklah pendidikan Madrasah Ibtidaiyah (MI) yang tetap lebih menekankan pada pendidikan agama, pada awalnya Madrasah Ibtidaiyah ini merupakan Madrasah cabang Pondok Pesantren Zainul Hasan Genggong dan nama MI “Kholafiyah Syafi’iyah” adalah pemberian dari Kiyai Hasan Saifouridzall yang Alhamdulillah hingga sekarang tetap terabadikan. Inilah fase transisi dimana putra-putri Kiyai Husnan yang sebelumnya terbiasa berdiri di posisi “kanan” (salaf) harus bergeser sedikit ke posisi “tengah” antara Qodimish sholih dan Jadidil Ashlah (antara pendidikan salaf dan pendidikan umum/modern). Dengan tertatih-tatih Madrasah Ibtidaiyah dijalankan sandungan kerikil-kerikil tajam menjadi hikmah tersendiri dalam proses kematangan lembaga ini hingga ahirnya pada saat MI sudah menemukan jati dirinya barulah jajaran Pengasuh merasa perlu untuk mengembangkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi yaitu Madrasah Tsanawiyah (MTs) dan Sekolah Menengah Atas Islam (SMAI) mengingat mayoritas santri yang mondok di Pesantren Ro’iyatul Husnan sebelumnya sudah selesai menempuh pendidikan MI/SD dan MTs/SMP sewaktu di kampung halamannya. Siswa-siswi lembaga pendidikan yang bernaung di bawah Yayasan Pondok Pesantren Ro’iyatul Husnan pada awalnya murni dari para santri yang bermukim di Pondok Pesantren akan tetapi pada perkembangan selanjutnya siswa-siswi yang ada juga input dari putra-putri masyarakat sekitar Pesantren, hal itu semakin menambah pesatnya kemajuan pendidikan tentunya dibarengi dengan pembenahan dan peningkatan kusalitas pendidikan dan sumber daya pengajarnya, sehingga pesantren Ro’iyatul Husnan tidak hanya besar secara kuantitas tapi juga mumpuni dalam kualitas. Sepertinya pencapaian semua itu merupakan buah dari haliyah Kiyai Husnan ketika beliau nyantri di Pondok Pesantren Zainul Hasan Genggong yang ditopang oleh do’a kedua orang tua beliau, hingga dapat di tarik benang merah bahwa Ilmu dan Barokah itu sejatinya berbanding lurus. Wallahu A’lam Bish Shawab. (MG) 4.4/5 - (15 votes)
6 Agustus 2017
Umum
Hikmah
Syeikh Ibnu ‘Atha’illah as-Sakandari (w. 1309 M) hidup di Mesir di masa kekuasaan Dinasti Mameluk. Ia lahir di kota Alexandria (Iskandariyah), lalu pindah ke Kairo. Julukan Al-Iskandari atau As-Sakandari merujuk kota kelahirannya itu. Di kota inilah ia menghabiskan hidupnya dengan mengajar fikih mazhab Imam Maliki di berbagai lembaga intelektual, antara lain Masjid Al-Azhar. Di waktu yang sama dia juga dikenal luas dibidang tasawuf sebagai seorang “master” (syeikh) besar ketiga di lingkungan tarekat sufi Syadziliyah ini. Sejak kecil, Ibnu ‘Atha’illah dikenal gemar belajar. Ia menimba ilmu dari beberapa syekh secara bertahap. Gurunya yang paling dekat adalah Abu Al-Abbas Ahmad ibnu Ali Al-Anshari Al-Mursi, murid dari Abu Al-Hasan Al-Syadzili, pendiri tarikat Al-Syadzili. Dalam bidang fiqih ia menganut dan menguasai Mazhab Maliki, sedangkan di bidang tasawuf ia termasuk pengikut sekaligus tokoh tarikat Al-Syadzili. tergolong ulama yang produktif. Tak kurang dari 20 karya yang pernah dihasilkannya. Meliputi bidang tasawuf, tafsir, aqidah, hadits, nahwu, dan ushul fiqh. Dari beberapa karyanya itu yang paling terkenal adalah kitab al-Hikam. Buku ini disebut-sebut sebagai magnum opusnya. Kitab itu sudah beberapa kali disyarah. Antara lain oleh Muhammad bin Ibrahim ibn Ibad ar Rundi, Syaikh Ahmad Zarruq, dan Ahmad ibn Ajiba. Beberapa kitab lainnya yang ditulis adalah Al-Tanwir fi Isqath al-Tadbir, ‘Unwan at-Taufiq fi’dab al-Thariq, miftah al-Falah dan al-Qaul al-Mujarrad fil al-Ism al-Mufrad. Yang terakhir ini merupakan tanggapan terhadap Syaikhul Islam ibn Taimiyyah mengenai persoalan tauhid. Kedua ulama besar itu memang hidup dalam satu zaman, dan kabarnya beberapa kali terlibat dalam dialog yang berkualitas tinggi dan sangat santun. Ibn Taimiyyah adalah sosok ulama yang tidak menyukai praktek sufisme. Sementara Ibnu ‘Atha’illah dan para pengikutnya melihat tidak semua jalan sufisme itu salah. Karena mereka juga ketat dalam urusan syari’at. Ibn ‘Athaillah dikenal sebagai sosok yang dikagumi dan bersih. Ia menjadi panutan bagi banyak orang yang meniti jalan menuju Tuhan. Menjadi teladan bagi orang-orang yang ikhlas, dan imam bagi para juru nasihat. Ia dikenal sebagai master atau syaikh ketiga dalam lingkungan tarikat Syadzili setelah yang pendirinya Abu al Hasan Asy Syadzili dan penerusnya, Abu Al Abbas Al Mursi. Dan Ibn ‘Athillah inilah yang pertama menghimpun ajaran-ajaran, pesan-pesan, doa dan biografi keduanya, sehingga khazanah tarikat syadziliah tetap terpelihara. Meski ia tokoh kunci di sebuah tarikat, bukan berarti aktifitas dan pengaruh intelektualismenya hanya terbatas di tarekat saja. Buku-buku Ibnu ‘Atha’illah dibaca luas oleh kaum muslimin dari berbagai kelompok, bersifat lintas mazhab dan tarikat, terutama kitab Al Hikam yang melegenda ini. Pengarang kitab al-Hikam yang cukup populer di negeri kita ini adalah Tajuddin, Abu al-Fadl, Ahmad bin Muhammad bin Abd al-Karim bin Atho’ al-Sakandari al-Judzami al-Maliki al-Syadzili. Ia berasal dari bangsa Arab. Nenek moyangnya berasal dari Judzam yaitu salah satu Kabilah Kahlan yang berujung pada Bani Ya’rib bin Qohton, bangsa Arab yang terkenal dengan Arab al-Aa’ribah. Kota Iskandariah merupakan kota kelahiran sufi besar ini. Suatu tempat di mana keluarganya tinggal dan kakeknya mengajar. Kendatipun namanya hingga kini demikian harum, namun kapan sufi agung ini dilahirkan tidak ada catatan yang tegas. Dengan menelisik jalan hidupnya DR. Taftazani bisa menengarai bahwa ia dilahirkan sekitar tahun 658 sampai 679 H. Ayahnya termasuk semasa dengan Syaikh Abu al-Hasan al-Syadili -pendiri Thariqah al-Syadziliyyah-sebagaimana diceritakan Ibnu Atho’ dalam kitabnya “Lathoiful Minan “ : “Ayahku bercerita kepadaku, suatu ketika aku menghadap Syaikh Abu al-Hasan al-Syadzili, lalu aku mendengar beliau mengatakan: “Demi Allah… kalian telah menanyai aku tentang suatu masalah yang tidak aku ketahui jawabannya, lalu aku temukan jawabannya tertulis pada pena, tikar dan dinding”. Keluarga Ibnu Atho’ adalah keluarga yang terdidik dalam lingkungan agama, kakek dari jalur nasab ayahnya adalah seorang ulama fiqih pada masanya. Tajuddin remaja sudah belajar pada ulama tingkat tinggi di Iskandariah seperti al-Faqih Nasiruddin al-Mimbar al-Judzami. Kota Iskandariah pada masa Ibnu Atho’ memang salah satu kota ilmu di semenanjung Mesir, karena Iskandariah banyak dihiasi oleh banyak ulama dalam bidang fiqih, hadits, usul, dan ilmu-ilmu bahasa Arab, tentu saja juga memuat banyak tokoh-tokoh tasawwuf dan para Auliya’ Sholihin Oleh karena itu tidak mengherankan bila Ibnu Atho’illah tumbuh sebagai seorang faqih, sebagaimana harapan dari kakeknya. Namun kefaqihannya terus berlanjt sampai pada tingkatan tasawuf. Hal mana membuat kakeknya secara terang-terangan tidak menyukainya. Ibnu Atho’ menceritakan dalam kitabnya “Lathoiful minan” : “Bahwa kakeknya adalah seorang yang tidak setuju dengan tasawwuf, tapi mereka sabar akan serangan dari kakeknya. Di sinilah guru Ibnu Atho’ yaitu Abul Abbas al-Mursy mengatakan: “Kalau anak dari seorang alim fiqih Iskandariah (Ibnu Atho’illah) datang ke sini, tolong beritahu aku”, … dan ketika aku datang, al-Mursi mengatakan: “Malaikat jibril telah datang kepada Nabi bersama dengan malaikat penjaga gunung ketika orang quraisy tidak percaya pada Nabi. Malaikat penjaga gunung lalu menyalami Nabi dan mengatakan: ” Wahai Muhammad.. kalau engkau mau, maka aku akan timpakan dua gunung pada mereka”. Dengan bijak Nabi mengatakan : ” Tidak… aku mengharap agar kelak akan keluar orang-orang yang bertauhid dan tidak musyrik dari mereka”. Begitu juga, kita harus sabar akan sikap kakek yang alim fiqih (kakek Ibnu Atho’illah) demi orang yang alim fiqih ini”. Pada akhirnya Ibn Atho’ memang lebih terkenal sebagai seorang sufi besar. Namun menarik juga perjalanan hidupnya, dari didikan yang murni fiqh sampai bisa memadukan fiqh dan tasawuf. Oleh karena itu buku-buku biografi menyebutkan riwayat hidup Atho’illah menjadi tiga masa: Masa pertama Syeikh Ibn ‘Atha’illah as-Sakandari Masa ini dimulai ketika ia tinggal di Iskandariah sebagai pencari ilmu agama seperti tafsir, hadits, fiqih, usul, nahwu dan lain-lain dari para alim ulama di Iskandariah. Pada periode itu beliau terpengaruh pemikiran-pemikiran kakeknya yang mengingkari para ahli tasawwuf karena kefanatikannya pada ilmu fiqih, dalam hal ini Ibnu Atho’illah bercerita: “Dulu aku adalah termasuk orang yang mengingkari Abu al-Abbas al-Mursi, yaitu sebelum aku menjadi murid beliau”. Pendapat saya waktu itu bahwa yaang ada hanya ulama ahli dzahir, tapi mereka (ahli tasawwuf) mengklaim adanya hal-hal yang besar, sementara dzahir syariat menentangnya”. Masa kedua Syeikh Ibnu ‘Atha’illah as-Sakandari Masa ini merupakan masa paling penting dalam kehidupan sang guru pemburu kejernihan hati ini. Masa ini dimulai semenjak ia bertemu dengan gurunya, Abu al-Abbas al-Mursi, tahun 674 H, dan berakhir dengan kepindahannya ke Kairo. Dalam masa ini sirnalah keingkarannya ulama’ tasawwuf. Ketika bertemu dengan al-Mursi, ia jatuh kagum dan simpati. Akhirnya ia mengambil Thariqah langsung dari gurunya ini. Ada cerita menarik mengapa ia beranjak memilih dunia tasawuf ini. Suatu ketika Ibn Atho’ mengalami goncangan batin, jiwanya tertekan. Dia bertanya-tanya dalam hatinya : “apakah semestinya aku membenci tasawuf. Apakah suatu yang benar kalau aku tidak menyukai Abul Abbas al-Mursi ?. setelah lama aku merenung, mencerna akhirnya aku beranikan diriku untuk mendekatnya, melihat siapa al-Mursi sesungguhnya, apa yang ia ajarkan sejatinya. Kalau memang ia orang baik dan benar maka semuanya akan kelihatan. Kalau tidak demikian halnya biarlah ini menjadi jalan hidupku yang tidak bisa sejalan dengan tasawuf. Lalu aku datang ke majlisnya. Aku mendengar, menyimak ceramahnya dengan tekun tentang masalah-masalah syara’. Tentang kewajiban, keutamaan dan sebagainya. Di sini jelas semua bahwa ternyat al-Mursi yang kelak menjadi guru sejatiku ini mengambil ilmu langsung dari Tuhan. Dan segala puji bagi Allah, Dia telah menghilangkan rasa bimbang yang ada dalam hatiku”. Maka demikianlah, ketika ia sudah mencicipi manisnya tasawuf hatinya semakin tertambat untuk masuk ke dalam dan lebih dalam lagi. Sampai-sampai ia punya dugaan tidak akan bisa menjadi seorang sufi sejati kecuali dengan masuk ke dunia itu secara total, menghabiskan seluruh waktunya untuk sang guru dan meningalkan aktivitas lain. Namun demikian ia tidak berani memutuskan keinginannya itu kecuali setelah mendapatkan izin dari sang guru al-Mursi. Dalam hal ini Ibnu ‘Atha’illah menceritakan : “Aku menghadap guruku al-Mursi, dan dalam hatiku ada keinginan untuk meninggalkan ilmu dzahir. Belum sempat aku mengutarakan apa yang terbersit dalam hatiku ini tiba-tiba beliau mengatakan : “Di kota Qous aku mempunyai kawan namanya Ibnu Naasyi’. Dulu dia adalah pengajar di Qous dan sebagai wakil penguasa. Dia merasakan sedikit manisnya tariqah kita. Kemudian ia menghadapku dan berkata : “Tuanku… apakah sebaiknya aku meninggalkan tugasku sekarang ini dan berkhidmat saja pada tuan?”. Aku memandangnya sebentar kemudian aku katakan : “Tidak demikian itu tariqah kita. Tetaplah dengan kedudukan yang sudah di tentukan Allah padamu. Apa yang menjadi garis tanganmu akan sampai padamu juga”. Setelah bercerita semacam itu yang sebetulnya adalah nasehat untuk diriku beliau berkata: “Beginilah keadaan orang-orang al-Siddiqiyyin. Mereka sama sekali tidak keluar dari suatu kedudukan yang sudah ditentukan Allah sampai Dia sendiri yang mengeluarkan mereka”. Mendengar uraian panjang lebar semacam itu aku tersadar dan tidak bisa mengucapkan sepatah katapun. Dan alhamdulillah Allah telah menghapus angan kebimbangan yang ada dalam hatiku, sepertinya aku baru saja melepas pakaianku. Aku pun rela tenang dengan kedudukan yang diberikan oleh Allah”. Masa ketiga Syeikh Ibnu ‘Atha’illah as-Sakandari Masa ini dimulai semenjak kepindahan Ibn Atho’ dari Iskandariah ke Kairo. Dan berakhir dengan kepindahannya ke haribaan Yang Maha Asih pada tahun 709 H. Masa ini adalah masa kematangan dan kesempurnaan Ibnu Atho’illah dalam ilmu fiqih dan ilmu tasawwuf. Ia membedakan antara Uzlah dan kholwah. Uzlah menurutnya adalah pemutusan (hubungan) maknawi bukan hakiki, lahir dengan makhluk, yaitu dengan cara si Salik (orang yang uzlah) selalu mengontrol dirinya dan menjaganya dari perdaya dunia. Ketika seorang sufi sudah mantap dengan uzlah-nya dan nyaman dengan kesendiriannya ia memasuki tahapan khalwah. Dan khalwah dipahami dengan suatu cara menuju rahasia Tuhan, kholwah adalah perendahan diri dihadapan Allah dan pemutusan hubungan dengan selain Allah SWT. Menurut Ibnu Atho’illah, ruangan yang bagus untuk ber-khalwah adalah yang tingginya, setinggi orang yang berkhalwat tersebut. Panjangnya sepanjang ia sujud. Luasnya seluas tempat duduknya. Ruangan itu tidak ada lubang untuk masuknya cahaya matahari, jauh dari keramaian, pintunya rapat, dan tidak ada dalam rumah yang banyak penghuninya. Ibnu Atho’illah sepeninggal gurunya Abu al-Abbas al-Mursi tahum 686 H, menjadi penggantinya dalam mengembangkan Tariqah Syadziliah. Tugas ini ia emban di samping tugas mengajar di kota Iskandariah. Maka ketika pindah ke Kairo, ia bertugas mengajar dan ceramah di Masjid al-Azhar. Ibnu Hajar berkata: “Ibnu Atho’illah berceramah di Azhar dengan tema yang menenangkan hati dan memadukan perkatan-perkatan orang kebanyakan dengan riwayat-riwayat dari salafus soleh, juga berbagai macam ilmu. Maka tidak heran kalau pengikutnya berjubel dan beliau menjadi simbol kebaikan”. Hal senada diucapkan oleh Ibnu Tagri Baradi : “Ibnu Atho’illah adalah orang yang sholeh, berbicara di atas kursi Azhar, dan dihadiri oleh hadirin yang banyak sekali. Ceramahnya sangat mengena dalam hati. Dia mempunyai pengetahuan yang dalam akan perkataan ahli hakekat dan orang orang ahli tariqah”. Termasuk tempat mengajar beliau adalah Madrasah al-Mansuriah di Hay al-Shoghoh. Beliau mempunyai banyak anak didik yang menjadi seorang ahli fiqih dan tasawwuf, seperti Imam Taqiyyuddin al-Subki, ayah Tajuddin al-Subki, pengarang kitab “Tobaqoh al-syafi’iyyah al-Kubro”. Sebagai seoarang sufi yang alim Ibn Atho’ meninggalkan banyak karangan sebanyak 22 kitab lebih. Mulai dari sastra, tasawuf, fiqh, nahwu, mantiq, falsafah sampai khitobah. Kitabnya yang paling masyhur sehingga telah menjadi terkenal di seluruh dunia Islam ialah kitabnya yang bernama Hikam, yang telah diberikan komentar oleh beberapa orang ulama di kemudian hari dan yang juga telah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa asing lain, termasuklah bahasa Melayu dan bahasa Indonesia. Beberapa kitab lainnya yang ditulis adalah Al-Tanwir fi Isqath Al-Tadbir, Unwan At-Taufiq fi’dab Al-Thariq, Miftah Al-Falah dan Al-Qaul Al-Mujarrad fil Al-Ism Al-Mufrad. Yang terakhir ini merupakan tanggapan terhadap Syekhul Islam ibnu Taimiyyah mengenai persoalan tauhid. Kedua ulama besar itu memang hidup dalam satu zaman, dan kabarnya beberapa kali terlibat dalam dialog yang berkualitas tinggi dan sangat santun. Ibnu Taimiyyah adalah sosok ulama yang tidak menyukai praktek sufisme. Sementara Ibnu Atha’illah dan para pengikutnya melihat tidak semua jalan sufisme itu salah. Karena mereka juga ketat dalam urusan syari’at. Ibnu Atha’illah dikenal sebagai sosok yang dikagumi dan bersih. Ia menjadi panutan bagi banyak orang yang meniti jalan menuju Tuhan. Menjadi teladan bagi orang-orang yang ikhlas, dan imam bagi para juru nasihat. Al-Hikam Ibnu ‘Atha’illah Kitab ini dikenali juga dengan nama al-Hikam al-Ata’illah untuk membezakannya daripada kitab-kitab lain yang juga berjudul Hikam. Syekh Ibnu Atha’illah menghadirkan Kitab Al-Hikam dengan sandaran utama pada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Guru besar spiritualisme ini menyalakan pelita untuk menjadi penerang bagi setiap salik, menunjukkan segala aral yang ada di setiap kelokan jalan, agar kita semua selamat menempuhnya. Kitab Al-Hikam merupakan ciri khas pemikiran Ibnu Atha’illah, khususnya dalam paradigma tasawuf. Di antara para tokoh sufi yang lain seperti Al-Hallaj, Ibnul Arabi, Abu Husen An-Nuri, dan para tokoh sufisme falsafi yang lainnya, kedudukan pemikiran Ibnu Atha’illah bukan sekedar bercorak tasawuf falsafi yang mengedepankan teologi. Tetapi diimbangi dengan unsur-unsur pengamalan ibadah dan suluk, artinya di antara syari’at, tarikat dan hakikat ditempuh dengan cara metodis. Corak Pemikiran Ibnu Atha’illah dalam bidang tasawuf sangat berbeda dengan para tokoh sufi lainnya. Ia lebih menekankan nilai tasawuf pada ma’rifat. Adapun pemikiran-pemikiran tarikat tersebut adalah: Pertama, tidak dianjurkan kepada para muridnya untuk meninggalkan profesi dunia mereka. Dalam hal pandangannya mengenai pakaian, makanan, dan kendaraan yang layak dalam kehidupan yang sederhana akan menumbuhkan rasa syukur kepada Allah dan mengenal rahmat Illahi. “Meninggalkan dunia yang berlebihan akan menimbulkan hilangnya rasa syukur. Dan berlebih-lebihan dalam memanfaatkan dunia akan membawa kepada kezaliman. Manusia sebaiknya menggunakan nikmat Allah SWT dengan sebaik-baiknya sesuai petunjuk Allah dan Rasul-Nya,” kata Ibnu Atha’illah. Kedua, tidak mengabaikan penerapan syari’at Islam. Ia adalah salah satu tokoh sufi yang menempuh jalur tasawuf hampir searah dengan Al-Ghazali, yakni suatu tasawuf yang berlandaskan kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Mengarah kepada asketisme, pelurusan dan penyucian jiwa (tazkiyah an-nafs), serta pembinaan moral (akhlak), suatu nilai tasawuf yang dikenal cukup moderat. Ketiga, zuhud tidak berarti harus menjauhi dunia karena pada dasarnya zuhud adalah mengosongkan hati selain daripada Tuhan. Dunia yang dibenci para sufi adalah dunia yang melengahkan dan memperbudak manusia. Kesenangan dunia adalah tingkah laku syahwat, berbagai keinginan yang tak kunjung habis, dan hawa nafsu yang tak kenal puas. “Semua itu hanyalah permainan (al-la’b) dan senda gurau (al-lahwu) yang akan melupakan Allah. Dunia semacam inilah yang dibenci kaum sufi,” ujarnya. Keempat, tidak ada halangan bagi kaum salik untuk menjadi miliuner yang kaya raya, asalkan hatinya tidak bergantung pada harta yang dimiliknya. Seorang salik boleh mencari harta kekayaan, namun jangan sampai melalaikan-Nya dan jangan sampai menjadi hamba dunia. Seorang salik, kata Atha’illah, tidak bersedih ketika kehilangan harta benda dan tidak dimabuk kesenangan ketika mendapatkan harta. Kelima, berusaha merespons apa yang sedang mengancam kehidupan umat, berusaha menjembatani antara kekeringan spiritual yang dialami orang yang hanya sibuk dengan urusan duniawi, dengan sikap pasif yang banyak dialami para salik. Keenam, tasawuf adalah latihan-latihan jiwa dalam rangka ibadah dan menempatkan diri sesuai dengan ketentuan Allah. Bagi Syekh Atha’illah, tasawuf memiliki empat aspek penting yakni berakhlak dengan akhlak Allah SWT, senantiasa melakukan perintah-Nya, dapat menguasai hawa nafsunya serta berupaya selalu bersama dan berkekalan dengan-Nya secara sunguh-sungguh. Ketujuh, dalam kaitannya dengan ma’rifat Al-Syadzili, ia berpendapat bahwa ma’rifat adalah salah satu tujuan dari tasawuf yang dapat diperoleh dengan dua jalan; mawahib, yaitu Tuhan memberikannya tanpa usaha dan Dia memilihnya sendiri orang-orang yang akan diberi anugerah tersebut; dan makasib, yaitu ma’rifat akan dapat diperoleh melalui usaha keras seseorang, melalui ar-riyadhah, dzikir, wudhu, puasa ,sahalat sunnah dan amal shalih lainnya. Karomah Ibnu ‘Atha’illah Al-Munawi dalam kitabnya “Al-Kawakib al-durriyyah mengatakan: “Syaikh Kamal Ibnu Humam ketika ziarah ke makam wali besar ini membaca Surat Hud sampai pada ayat yang artinya: “Diantara mereka ada yang celaka dan bahagia…”. Tiba-tiba terdengar suara dari dalam liang kubur Ibn Athoillah dengan keras: “Wahai Kamal… tidak ada diantara kita yang celaka”. Demi menyaksikan karomah agung seperti ini Ibnu Humam berwasiat supaya dimakamkan dekat dengan Ibnu Atho’illah ketika meninggal kelak. Di antara karomah pengarang kitab al-Hikam adalah, suatu ketika salah satu murid beliau berangkat haji. Di sana si murid itu melihat Ibn Athoillah sedang thawaf. Dia juga melihat sang guru ada di belakang maqam Ibrahim, di Mas’aa dan Arafah. Ketika pulang, dia bertanya pada teman-temannya apakah sang guru pergi haji atau tidak. Si murid langsung terperanjat ketiak mendengar teman-temannya menjawab “Tidak”. Kurang puas dengan jawaban mereka, dia menghadap sang guru. Kemudian pembimbing spiritual ini bertanya : “Siapa saja yang kamu temui ?” lalu si murid menjawab : “Tuanku… saya melihat tuanku di sana “. Dengan tersenyum al-arif billah ini menerangkan : “Orang besar itu bisa memenuhi dunia. Seandainya saja Wali Qutb di panggil dari liang tanah, dia pasti menjawabnya”. Wafatnya Syeikh Ibnu ‘Atha’illah as-Sakandari Tahun 709 H adalah tahun kemalangan dunia maya ini. Karena tahun tersebut wali besar yang tetap abadi nama dan kebaikannya ini harus beralih ke alam barzah, lebih mendekat pada Sang Pencipta. Namun demikian madrasah al-Mansuriyyah cukup beruntung karena di situlah jasad mulianya berpisah dengan sang nyawa. Ribuan pelayat dari Kairo dan sekitarnya mengiring kekasih Allah ini untuk dimakamkan di pemakaman al-Qorrofah al-Kubro. sumber http://tasawuf.blog.com/2010/04/syekh-ibnu-athaillah/ 4.4/5 - (24 votes)
5 Juli 2017
Umum
Umum
Figur
Hikmah
Taushiyah
BAGI kalangan masyarakat Jawa Timur, sosok K.H. Moh. Hasan Genggong, Kecamatan Pajarakan, Kabupaten Prooblinggo, tentulah tidak asing. Pria yang memiliki nama lahir Muhammad Hasan, tersebut dikenal sebagai tokoh spiritual, ulama besar, serta pendiri pesantren besar yang zuhud, ringan tangan, dan memiliki empati tinggi terhadap sesama. Kiai Hasan Genggong lahir pada 27 Rajab 1259 Hijriah atau 23 Agustus 1840 Miladiah, bertepatan dengan peringatan Isra Mikraj Nabi Muhammad SAW. Meski terlahir sebagai anak tukang pembuat genting di Desa Sentong, Kecamatan Krejengan, Kabupaten Prooblinggo, tidak serta merta menyurutkan Muhammad Hasan dalam menuntut ilmu. Jejak kesantrian Kiai Hasan Genggong dimulai sejak usia belia sampai dewasa. Dari mondok di sejumlah pesantren di tanah air, berlanjut nyantri ke Makkah dan Madinah. Selepas menuntaskan belajar, Kiai Hasan Genggong diambil menantu oleh Pendiri Pesanten Zainul Haan Genggong K.H Zainul Abidin. Sebuah pesantren yang berdiri sejak 1839 Masehi. Pasca wafatnya sang mertua, Kiai Hasan Genggong mendapat amanat meneruskan titah perjuangan. Di bawah didikan beliau, lahir ulama-ulama besar yang tersebar di mana-mana. Kiai Hasan Genggong mendidik santri di Pesantren Genggong selama 87 Tahun. Di kalangan ulama sepuh Nahdlatul Ulama (NU), Kiai Hasan Genggong senantiasa dijadikan sebagai sosok yang selalu diminta nasihat dan pertimbangan persoalan NU dan umat. Saat proses awal pendirian organisasi NU, almarhum Kiai Hasan Genggong juga diminta pendapat dan nasihat oleh almarhum K.H. Wahab Hasbullah; K.H. As’ad Syamsul Arifin; dan para pendiri NU yang lain atas rekomendasi dari Syaikhona Kholil Bangkalan dan hadratus Syeikh K.H. Hasyim Asy’ari. Kiai Hasan Sepuh yang dikenal sebagai sosok ulama dengan kezuhudannya, selalu menjadi tempat rujukan ketika ulama pendiri NU akan mengambil keputusan. Ketika NU lahir pada 1926 pada saat bumi nusantara masih dicengkeram penjajah Belanda, Kiai Hasan Genggong menjadikan Pesantren Genggong sebagai basis perjuangan kemerdekaan. Sosok Kiai Hasan Genggong memang bermental baja, percaya diri, ditakuti penjajah dan dikenal apa adanya. Segala bujuk rayu dan siasat Belanda tak mampu menembus hati Kiai Hasan Genggong. Suatu ketika, ada seorang ulama yang sowan ke Kiai Hasan Genggong, berniat tabayun mengenai hukum melawan penjajah. Belum sempat pertanyaan diajukan, Kiai Hasan Genggong saat menemui sang tamu itu menggunakan peci hitam dan membawa keris. Mendapati perbuatan yang sangat jarang Kiai Hasan Genggong, itu sang tamu dengan bangga merasa sudah menemukan jawaban tanpa harus mengajukan pertanyaan. Kiai Hasan Genggong pernah menyatakan bahwa berjuang ikhlas di NU akan mendapatkan keselamatan dunia dan akhirat. Insya Allah. “من اعان نهضةالعلماء، فقد سعد فى الدنيا والأخرة” “Barang siapa yang menolong (berjuang ikhlas) NU, maka hidup beruntung di dunia dan di akhirat”. Ketua Tanfidziyah PW NU Jatim K.H Moh. Hasan Mutawakkil Alallah menyatakan, para wali Allah merupakan owner (pemilik) NU. Karena itu, siapa saja yang menjadikan NU sebagai ajang untuk mencari keuntungan pribadi dan mempermainkan Jamiyyah NU, akan dilaknat Allah, Rasul, dan para wali serta muassis NU. Sebagai ormas Islam yang didirikan oleh para ulama besar pada zamannya, NU menjadi medium dakwah Islam ahlussunnah wal jamaah yang senyatanya memang mendapatkan doa, dukungan, dan rida para hamba Allah yang dikenal salih, memiliki kebeningan hati, dan kealiman luar biasa. Kiai Hasan Genggong juga merupakan sosok ulama yang produktif menulis kitab, yang meliputi bidang-bidang fiqih, tauhid, tasawuf, tafsir, dan hadis. Salah satu karyanya kitab Safinatun Najah. Karomahnya tak terhitung, semua orang mendambakan menjadi orang yang bisa diakui sebagai santrinya. Kiai Hasan Genggong wafat Kamis 11 Syawal 1374 Hijriah atau 1 juni 1955 Miladiah, sekitar pukul 23.30 WIB. Beliau waafat pada usia 115 tahun. (susi/yex) 4.4/5 - (9 votes)
5 Juli 2017
Umum
Umum
Figur
Hikmah
KH Moh Hasan Genggong Dikisahkan, terdapat seorang ulama bernama Habib Abdul Qadir bin Quthban Assegaf, seorang alim yang sangat gemar bersilaturrahim. Kegemarannya bersilaturahim bukan hanya terbatas di wilayah Hadramaut, Yaman saja. Tapi juga sampai mancanegara, bahkan ke pulau Jawa Indonesia. Hingga suatu saat, ia berkesempatan silaturahim ke daerah Probolinggo, tepatnya di pesantren yang kala itu masih diasuh oleh KH Mohammad Hasan Sepuh Genggong. Kedatangannya disambut dengan ramah oleh tuan rumah. Lalu terjadilah percakapan antara keduanya. Hingga pada akhirnya Kiai Hasan menanyakan tentang kabar seorang ulama dari Yaman. “Habib, bagaimana kabarnya Habib Ali Habsyi Seiwun (muallif simtuddurar)?” tanya Kiai Hasan. Agak terkejut, Habib Abdul Qadir, mendengar pertanyaan tersebut. Sebab ia tahu, Kiai Hasan belum pernah pergi ke Yaman, dan Habib Ali pun sama belum pernah pergi ke Indonesia. Belum habis rasa terkejutnya, kembali ia mendapat pertanyaan dari Kiai Hasan: “Habib Ali Al Habsyi Seiwun itu kulitnya seperti ini … (menyebutkan), wajahnya begini… (menyebutkan), kalau duduk seperti ini… (disebutkan), jalannya seperti ini… (disebutkan), di kediaman Habib Ali rumahnya seperti ini… (menyebutkan), di depannya ada masjid bernama Masjid Riyadh dan tiangnya ada… (menyebutkan),” papar Kiai Hasan, seolah ia pernah berjumpa langsung dan berkunjung ke kediaman Habib Ali. Lalu setelah cukup berbincang-bincang, tak lama kemudian, Habib Abdul Qadir bin Qithban pun berpamitan pulang. Sekembalinya dari tanah Jawa ke Yaman. Habib Abdul Qadir bin Quthban mengunjungi kota Seiwun, untuk bertemu dengan Habib Ali Al Habsyi. Ketika sudah sampai di kediaman Habib Ali Habsyi dan berhadapan dengan beliau, di tengah-tengah perbincangan, Habib Ali Al Habsyi bertanya. “Wahai Sayyid Abdul Qadir, apakah di Jawa engkau bertemu dengan seorang syekh bernama Hasan Jawi?” tanya Habib Ali. Lalu Habib Ali Al Habsyi berkata: “Syekh Hasan itu kulitnya seperti ini… (menyebutkan), wajahnya seperti ini… (menyebutkan), duduknya begini… (mencontohkan), jalannya seperti ini… (menceritakan), dan di rumahnya begini… (menjelaskan)”. Hingga Habib Abdul Qadir takjub dengan detailnya penjelasan Habib Ali tentang Kiai Hasan seolah keduanya adalah sahabat karib yang akrab. Padahal Habib Ali tidak pernah ke Indonesia. Begitulah, para kekasih Allah, mereka meski tidak pernah bertemu secara lahir, tapi pertautan batin mereka sangatlah erat. Tahun berganti tahun, Habib Ali dan Kiai Hasan telah tiada. Hingga, ketika diadakan peringatan Haul ke-105 Habib Ali Habsyi Seiwun di Kota Solo, salah satu dari cucu Kiai Hasan Sepuh Genggong sowan ke Habib Anis, cucu dari Habib Ali. Saat Habib Anis tahu bahwa yang sowan adalah cucu Kiai Hasan Genggong. Habib Anis tersenyum sambil berkata. “Kakekku dan kakekmu mempunyai ta’aluq batin”. Kisah ini berdasarkan penuturan Habib Muhammad, dari ayahnya Habib Husein, dari ayahnya Habib Anis bin Alwi bin Ali Al-Habsyi. Lahumul al-fatihah. Sumber: www.nu.or.id 4.2/5 - (17 votes)
1 Oktober 2016
Hikmah
Ada sebuah kisah menarik. Diceritakan ketika zaman Alhabib Ali bin Muhammad bin Husain Al Habsyi Seiwun (pengarang Maulid Simthuddurar). Ada seorang Auliya Allah bernama Al habib Abdul Qadir bin Quthban Assegaf. Habib Abdul Qadir bin Quthban adalah seorang ‘alim yang sangat gemar bersilaturrahim kepada para ‘alim ulama’ para waliyullah yang masih hidup di zaman tersebut. Kegemaran Beliau bersilaturrahim bukan hanya terbatas di wilayah Hadramaut Yaman saja. Tapi juga sampai ke pulau Jawa Indonesia. Alm. Al Arifbillah KH. Mohammad Hasan Genggong Bahkan juga sampai ke kediaman Hadratussyaikh KH. Mohammad Hasan Sepuh Genggong Probolinggo. Ketika tiba dikediaman Kiai Hasan Sepuh Genggong, Habib Abdul Qadir disambut dengan ramah. Beliau berdua pun berbincang bincang. Tentunya dengan bahasa arab. Sampai pada akhirnya kiai Hasan sepuh bertanya, yang kalau diterjemahkan : “Habib, bagaimana kabarnya Habib Ali Habsyi Seiwun (pengarang Simtudhurar)??”. Ditanya seperti itu, Habib Abdul Qadir terkejut dan terheran-heran. Bagaimana bisa Kiai Hasan Sepuh Genggong mengenali Habib Ali Habsyi Seiwun. Sedangkan Kiai Hasan secara dzahir tidak pernah ke Hadramaut Yaman, dan Habib Ali Habsyi Seiwun juga tidak pernah ke Indonesia. Seolah mengetahui apa yg ada dihati Habib Abdul Qadir, Kiai Hasan kembali berkata : “Habib Ali Al Habsyi Seiwun itu kulitnya seperti ini … (menyebutkan), wajahnya begini… (menyebutkan), kalau duduk seperti ini… (disebutkan), jalannya seperti ini… (disebutkan), di kediaman Habib Ali rumahnya seperti ini… (menyebutkan), di depannya ada masjid bernama Masjid Riyadh dan tiangnya ada… (menyebutkan)”. Dan bertambah kagumlah Habib Abdul Qadir bin Quthban. Takjub oleh Kiai Hasan Sepuh Genggong yang menyebutkan secara detail seolah-olah beliau sangat akrab dengan Habib Ali Habsyi dan mengetahui keadaan rumahnya di kota Seiwun Hadramaut Yaman. Padahal Kiai Hasan tidak pernah sampai ke sana. Lalu setelah cukup berbincang-bincang, tak lama kemudian, Habib Abdul Qadir bin Qithban pun berpamitan pulang. Ketika sekembalinya dari tanah Jawa ke Yaman. Habib Abdul Qadir bin Quthban mengunjungi kota Seiwun, untuk bertemu dengan Al Imam Al ‘Arifbillah Al Habib Ali Al Habsyi Seiwun. Ketika sudah sampai di kediaman Habib Ali Habsyi dan berhadapan dengan beliau, ditengah-tengah perbincangan, Habib Ali Al Habsyi bertanya : “Wahai Sayyid Abdul Qadir, apakah di Jawa engkau bertemu dengan seorang syekh bernama Hasan Jawi (Jawa maksudnya)”. As-Sayyidul Habib Anis bin Alwi Al-Habsyi, Solo Habib Abdul qadir teringat pertemuannya dengan Kiai Hasan Sepuh Genggong. Beliau mengangguk meng-iyakan. Lalu Habib Ali Al Habsyi berkata : “Syekh Hasan itu kulitnya seperti ini… (menyebutkan), wajahnya seperti ini… (menyebutkan), duduknya begini… (mencontohkan), jalannya seperti ini… (menceritakan), dan di rumahnya begini… (menjelaskan)”. Hingga Habib Abdul Qadir takjub dengan detailnya penjelasan Habib Ali Seiwun tentang Kiai Hasan seolah keduanya adalah sahabat karib yang akrab. Padahal Habib Ali Seiwun tidak pernah ke indonesia. Subhanallah. Nah, begitulah jika seseorang telah diangkat derajatnya oleh Allah. Maka dunia tidak lebih hanyalah barang mainan saja. Meski dahulu tidak ada alat komunikasi seperti handphone ataupun TV, namun berkat karomah dari Allah, beliau berdua telah saling mengenal dalam dunia bathiniyah. Ketika haul Al ‘Arifbillah Al Habib Ali Habsyi Seiwun Shahib Simutuddurar di kota Solo, salah satu dari cucu Kiai Hasan Sepuh Genggong sowan ke Habib Anis bin Alwi bin Al Imam Ali Al Habsyi Seiwun. Cucu dari Habib Ali Simtudhurar. Saat Habib Anis tahu bahwa yang sowan adalah cucu Kiai Hasan Genggong. Habib Anis tersenyum sambil berkata “Kakekku dan kakekkmu mempunyai ta’aluq bathin”. Semoga kita yang penuh dengan dosa ini diampuni oleh Allah. Dan dengan rahmat Allah semoga kita dilayakkan untuk dimasukkan kedalam rombongan beliau para guru-guru kita auliya’ washalihin. Aamiin. Al-Faatihah Sumber : Majelis Al khair wal Barokah Genggong 4.2/5 - (5 votes)
27 September 2016
Umum
Hikmah
Wahai umatku, kita semua ada dalam kekuasaan Allah dan cinta kasih-Nya. Maka taati dan bertakwalah kepada-Nya. Kuwariskan dua hal pada kalian, sunnah dan Al-Qur’an. Barang siapa mencintai sunnahku, berarti ia mencintai aku. Dan bersamaku kelak, orang-orang yang mencintaiku, akan masuk ke dalam surga bersama-sama. Sesudah mengakhiri khutbahnya, dengan tatapan yang teduh dan penuh kasih, Muhammad menatap wajah sahabatnya satu per satu. Bertahun-tahun Rasulullah melakukan kebiasaan mengabsen sahabatnya di pagi hari. Tetapi tatapan di pagi hari itu, lain dari biasanya. Ada perasaan yang begitu berat mengganjal di hatinya. Ada perasaan tidak ingin hidup terpisahkan dari mereka. Siapa yang sanggup, berpisah dengan orang-orang terkasih, yang telah menemani dalam suka dan duka, selama lebih dari 22 tahun? Ia seperti ingin terus berada di tengah-tengah para sahabatnya, yang telah rela mengorbankan apa saja yang menjadi milik mereka, demi tegaknya risalah yang diemban rasul-Nya. Makam Rasulullah SAW Suasana senyap. Para sahabat merasa, waktunya telah tiba. Sesudah haji wada, yang juga menyiratkan berakhirnya risalah kenabian Muhammad, para sahabat masih terus menunggu, kapan tiba waktunya. Dan kini mereka merasa, mungkin inilah saatnya. Abu Bakar mamandang Rasulullah. Matanya menatap nanar dan berkaca-kaca. Umar yang gagah dan pemberani, sesak dadanya, berusaha menahan tangis sekuat daya. Utsman terpaku dalam diam. Ali menundukkan kepalanya dalam-dalam. Semua yang hadir tidak mampu megeluarkan kata-kata. Manusia tercinta itu sudah berada di ujung yang paling akhir dari perjalanannya. Usai sudah Muhammad menunaikan tugasnya. Tatkala Rasulullah berjalan limbung turun dari mimbar, Ali dan Fadhal dengan sigap segera menangkapnya. Rasulullah segera dipapah masuk ke dalam rumahnya, yang hanya berjarak beberapa meter dari mimbarnya, di Masjid Nabawi yang mulia. Para sahabat semakin yakin, saatnya telah tiba. Mereka terus berkumpul, di sekitar rumah Rasulullah, menunggu detik-detik berlalu. Matahari sudah meninggi, tetapi pintu rumah Nabi masih saja tertutup. Manusia agung yang mampu hidup lebih mewah dari segala raja, memilih tidur beralaskan tikar, terbaring lemah di dalamnya, bersama keluarganya yang mulia. Keringat yang mengucur dari keningnya membasahi pelepah kurma yang menjadi bantalnya. Dari arah luar, tiba-tiba terdengar seorang laki-laki berseru, “Assalamu’alaikum!” Fatimah, putri Nabi, keluar menemuinya. “Boleh saya masuk?” tanya laki-laki itu. Fatimah tidak memberinya izin, karena ayahandanya sedang terbaring lemah. “Maafkanlah, ayahandaku sedang demam,” kata Fatimah sambil membalikkan badan dan segera menutup kembali pintunya. Fatimah kembali menemani ayahnya. Rasulullah sudah membuka matanya saat Fatimah datang menghampiri. Ia bertanya pada putrinya, “Siapakah tadi yang datang wahai putriku?” Fatimah menjawab, “Aku tidak tahu, baru sekali ini aku melihatnya.” Lalu Rasulullah menatap wajah putrinya dalam-dalam, layaknya seorang ayah yang hendak pergi meninggalkan anaknya untuk jangka waktu yang cukup lama. “Ketahuilah wahai putriku, dialah yang menghapuskan kenikmatan sementara, dialah yang memisahkan pertemuan kita di dunia. Dialah malakul maut,” kata Rasulullah. Mendengar itu, meledaklah tangis Fatimah, yang selama ini ditahannya. Saat malaikat maut datang menghampiri, Rasulullah bertanya, mengapa Jibril tidka ikut bersamanya. Jibril sedang bersiap di atas langit untuk menyambut datangnya kekasih Allah, pamungkas para nabi dan Rasul, penghulu dunia ini. Lalu dipanggilah Jibril turun ke bumi mendekat kepada Rasulullah. Dengan suaranya yang lirih Rasulullah bertanya, “Wahai Jibril, jelaskan apa hakku nanti di hadapan Allah?” Jibril menjawab, “Pintu-pintu langit telah terbuka, para malaikat telah menanti kedatangan ruhmu. Semua pintu surga terbuka lebar menanti kedatanganmu.” Jawaban itu tidak memuaskan Rasulullah. Di wajahnya masih terlukis kecemasan. “Apakah engkau tidak suka mendengar kabar ini, wahai kekasih Allah?” Jibril bertanya dengan heran. Nabi menukas, “Kabarkan kepadaku bagaimana nasib umatku sepeninggalku!” “Engkau tidak perlu khawatir, wahai Rasul Allah. Pernah Allah berfirman kepadaku: Kuharamkan surga bagi siapa saja, kecuali umat Muhammad telah berada di dalamnya,” ujar Jibril menghibur. Waktu semakin memburu. Malaikat maut didesak waktu. Ia harus segera menunaikan tugasnya. Apabila ajal telah tiba, tidak ada yang bisa menahan barang sedetik, tidak juga ada yang mampu mengulurnya, demikian janji Allah kepada seluruh manusia. Perlahan-lahan Israil menarik ruh Rasulullah dari jasadnya yang semakin melemah. Rasulullah bersimbah keringat di sekujur tubuhnya. “Aduhai Jibril, betapa sakitnya sakaratul maut ini.” Rasulullah mengaduh perlahan. Suaranya lirih. Mata Fatimah Az-Zahra terpejam. Ali tertunduk dalam diam di sampingnya. Malaikat pengantar wahyu tak kuasa melihat penderitaan kekasih Allah, dibuangnya mukanya jauh-jauh. “Apakah engkau jijik melihatku, hingga kau palingkan wajahmu dariku?” tanya Nabi kepada Jibril. “Siapa yang mampu melihat penderitaan kekasih Allah direngut nyawanya?” ujar Jibril. Tak kuasa menahan sakit, Rasulullah memekik. “Ya Allah, betapa sakitnya maut ini. Timpakan semua siksa maut ini kepadaku. Jangan kau berikan kepada ummatku.” Sekujur tubuh Rasulullah, dari kaki hingga dada, sudah mulai terasa dingin. Di penghujung ajalnya, ketika nafas tinggal satu-satu meninggalkan rongga dadanya, bibirnya bergerak seperti hendak mengatakan sesuatu. Ia masih ingin mengatakan sesuatu. Menantu Rasulullah yang berada di sampingnya segera mendekatkan telinganya, mendengar dengan sangat seksama. “Uushiikum bis-shalah, wa maa malakat aimanukum.” Itulah kalimatnya yang keluar. “Peliharalah shalat, dan santunilah budak-budak di antaramu.” Di luar rumah, suara tangis para sahabat mulai terdengar bersahutan. Di sisa terakhir tenaganya yang tertinggal, Rasulullah masih berupaya mengucapkan sesuatu. Ali kembali mendekatkan telinganya ke bibir Rasulullah yang mulai membiru. “Ummatii, ummatii, ummatiii…” “Umatku, umatku, umatku…” Nyawapun meregang, lepas dari jasad Rasulullah Shollallahu’alayhi wa sallam. Tangispun meledak. Semua sahabat merasa telah kehilangan manusia yang paling mereka cintai, manusia yang memiliki sebaik-baik akhlaq, yang sejak muda bergelar Al-Amin, Yang Terpercaya. Ya Nabi salaam ‘alaika.. Ya rasul salaam ‘alaika.. Ya habiib salaam ‘alaika.. Sholawaatulloh ‘alaika.. Sumber pecintahabibana.wordpress.com 3.3/5 - (3 votes)
4 Maret 2016
Umum
Hikmah
Teknologi
Internet ibarat pedang bermata dua, bisa berguna sebagai senjata, tapi kalau tidak hati-hati bisa membahayakan diri sendiri. Disatu sisi dia adalah sumber informasi yang luas, kita bisa mendapatkan pengetahuan, informasi, koneksi, dan kesenangan hampir tanpa batas di internet. Di sisi lain internet juga bisa berbalik menyerang kita sendiri. Berikut Beberapa Artikel Yang Dapat Menunjang berinternet dengan aman dan cerdas ~> Belajar agama melalui internet atau buku? ~> Akhlaq Dalam Ber-Internet ~> Berguru kepada internet atau Dunia Maya the darkness of internet Internet adalah sebuah alat, yang tergantung bagaimana dan untuk apa kita menggunakan alat itu. Berikut tips bagaimana menggunakan internet secara cerdas sehingga bermanfaat bagi kehidupan. Internet adalah gudang ilmu, gunakan semaksimal mungkin untuk mencari informasi yang menunjang pelajaran, kuliah, penelitian, pekerjaan dan hal-hal yang mencerdaskan lainnya. Jangan mengumbar atau memberikan data diri Anda dengan mudah di Internet, sebab data diri Anda bisa saja disalahgunakan pihak lain. Internet bersifat anonimous, mengaku perempuan tapi lelaki, bernama X tapi ternyata Y, tinggal di kota A tapi sesungguhnya di B, sehingga jangan percaya begitu saja akan informasi yang disampaikan. Jejaring sosial seperti Facebook, Friendster, Twitter, My Space dan sebagainya baik untuk mempererat tali silaturahmi, berdiskusi akan banyak hal, tapi gunakanlah secara bijak, atur waktu mengakses agar tetap produktif dan jangan sembarangan menerima ajakan ”kopi darat”/bertemu dengan orang yang belum dikenal. Internet mempermudah transaksi bisnis, perbankan maupun jual-beli barang, untuk itu gunakan transaksi dengan tingkat security yang aman, berhati-hati dengan nomor kartu kredit, PIN e-banking, sebab penjahat internet siap mengintai setiap saat. Bagi orang tua, dampingi putra-putri saat mengakses internet dan berikan penjelasan serta batasan apa saja yang boleh diakses. Untuk membatasi putra-putri yang di bawah umur mengakses situs pornografi, perjudian dan situs yang menyesatkan akidah dalam beragama hendaknya kita mengecek apakah provider internet kita sudah bisa memblokir situs terlarang tersebut. dan juga kita mengontrol penggunaan gatget dan mengecek daftar bacaan mereka dengan melihat daftar histori browser. Saat ini, koneksi internet Indonesia yang terhubung ke luar negeri memerlukan kapasitas lebar pita yang besar, untuk itu utamakan membuat dan mengakses konten-konten lokal dan tidak mendownload file-file yang tidak perlu dari situs di luar negeri. Selalu log out setelah Anda log in suatu aplikasi maupun transaksi apapun. Keadaan tetap log in beresiko jika ada pihak lain yang kemudian melanjutkan aplikasi maupun transaksi terutama untuk akses internt di tempat umum seperti Warnet. Bahasa tulis berbeda dengan bahas lisan, sehingga gunakanlah tata bahasa yang baik dan tidak menimbulkan salah pengertian pihak lain. Kalaupun dirasa ada yang tidak pas dengan bahasa yang tertulis, pemakluman diperlukan mengingat tingkat pendidikan dan pengalaman yang berbeda ataupun kesulitan dalam menerjemahkan bahasa lisan ke tulisan, apalagi internet terutama dengan booming jejaring sosial, masih merupakan ”mainan’ baru bagi kita semua. Internet bukan wilayah bebas tanpa hukum, dimana kejahatan yang dilakukan secara off line (tradisional) kemudian beralih dengan memanfaatkan teknologi informasi (online) kini juga dapat diproses secara hukum. Penjahat cyber seperti cracker, carder, pencuri data/informasi elektronik kini juga dapat dijerat secara hukum. Begitu juga bagi pihak-pihak yang melakukan penipuan, pemerasan, atau penghinaan/pencemaran nama baik secara online. Perhatikan soal hak cipta saat menyalin (copy-paste) maupun menyebarkan tulisan, gambar atau video dari pihak/situs lain agar tidak ada tuntutan dikemudian hari. Tidak memproduksi maupun menyebarkan spam, virus, HOAX, termasuk juga gambar/foto pornoaksi dan pornografi, terutama pornografi anak. Karena akses internet berbiaya, terutama yang menggunakan waktu (seperti dial up ataupun di warnet-warnet) maupun volume, maka gunakan internet seperlunya agar biaya tidak membengkak. Kalaupun bersifat unlimited, tetap matikan akses jika sudah tidak dipakai agar jika ada pengguna lain yang ingin menggunakan, mendapatkan kualitas layanan yang seperti diharapkan. Artikel ini diadopsi dari tulisan Bp. Heru Sutadi, anggota Komite Regulasi Telekomunikasi pada Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI). 3/5 - (2 votes)
29 April 2015
Figur
Hikmah
Alm. KH. Moh. Hasan Genggong Salah satu karomah Al-Marhum waliyullah KH. Moh. Hasan Genggong diceritakan oleh KH. Akhmad Mudzhar, Situbondo. Beliau bercerita bahwa pada suatu hari selepas sholat Jum’at Almarhum KH. Moh. Hasan Genggong (atau yang dikenal dengan kiai sepuh) turun dari Masjid jami’ Al-Barokah Genggong menuju dalem (rumah/kediaman) beliau. Dalam perjalanan antara masjid dan kediamannya, beliau (kiai sepuh) berjalan sambil berteriak mengucap “Innalillah, Innalillah” sambil menghentak-hentakkan tangannya yang kelihatan basah. Pada waktu itu jam menunjukkan jam 13.00. Setelah itu, tepat pada hari Senin pagi, ketika Alm. Kiai sepuh menemui tamunya yang juga terdapat KH. Akhmad Mudzar (salah seorang santrinya dan perawi kisah ini), datang dua orang tamu menghadap kiai sepuh yang merautkan paras kelelahan seakan-akan baru mengalami musibah yang begitu hebat. Tatkala dua orang tersebut bertemu dan melihat wajah almarhum kiai sepuh, terlontarlah ucapan dari salah seorang dari keduanya. “ini orang yang menolong kita tiga hari yang lalu” ujarnya. Bersamaan dengan itu, Alm. Kiai sepuh mengucap kata “Alhamdulillah” sebanyak tiga kali dengan wajah yang berseri. Dari kejadian tersebut membuat heran KH. Mudzhar dan beliau mengambil keputusan untuk bertanya kepada kedua tamu tersebut, sehingga bercerita tamu tersebut: “tiga hari yang lalu, yaitu hari Jum’at kami berdua dan beberapa teman yang lain menaiki perahu menuju Banjarmasin, tiba-tiba perahu oleng akibat angin topan dan perahu kami tak tertolong lagi. Namun kami sempat diselamatkan berkat kehadiran dan pertolongan yang datang dari seorang sepuh yang tidak kami kenal, waktu itu menunjukkan sekitar jam 13.00 atau ba’da Jumat, setelah itu kami sudah tidak sadar lagi apa yang terjadi hingga kami terdampar di tepi pantai Kraksaan (Kalibuntu)”. Lalu (lanjut cerita tamu tersebut) setelah kami sadar, kami merasa sangat gembira dan bersyukur karena masih terselamatkan dari bencana itu. Dan kami ingat bahwa yang menolong kami dari malapetaka tiga hari yang lalu itu adalah orang tua yang nampaknya sangat alim. Hingga hati kami terdorong untuk sowan atau bersilaturrahim kepada kiai yang sepuh yang dekat dengan tempat kami terdampar. Setelah kami bertanya kepada orang-orang yang kami jumpai, “adakah disekitar tempat ini seorang kiai yang sepuh?”. Lalu kami disuruh menuju ke tempat ini (Genggong). Setelah sampai disini ternyata orang yang menolong kami waktu itu adalah orang ini. (bersamaan dengan itu tangan tamu tersebut menunjuk ke arah Alm. KH. Moh. Hasan Genggong. Sumber: buku 150 tahun menebar ilmu di jalan Allah 4/5 - (94 votes)
21 Desember 2014
Fiqih Kontemporer
Hikmah
suami istri mesra Membangun rumah tangga adalah seni tersendiri. Sering kali hal-hal kecil justru menjadi riak gelombang besar yang bisa menenggelamkan biduk rumah tangga. Misalnya, saling tidak mau mengalah, cemburu, kurang perhatian, dan lain sebagainya. Namun juga sebaliknya, dari hal-hal kecil pula biduk rumah tangga bisa terus berlayar mencapai hal-hal yang dulunya terasa tidak mungkin. Berikut adalah 10 hal kecil yang bisa dipraktekkan suami, dan insya Allah dapat membuat istri bahagia. Kebahagiaan istri tentunya akan berdampak kembali pada kebahagiaan rumah tangga itu sendiri. Apa saja hal tersebut? Yuk bikin ceklistnya, sudahkah 10 hal ini dipraktekkan oleh para suami? Beri pujian atas hal-hal baik tentangnya Wanita memiliki kelemahan pada pendengaran, maksudnya? sangat suka dirayu dan digombal. Mengapa tidak memanfaatkan kelemahan ini untuk memikat kembali hati sang istri? Pujilah masakan yang ia buat, pujilah senyumannya yang manis saat membuka pintu, pujilah suaranya yang bagus, pujilah pilihan bajunya yang oke, pujilah kemampuannya merawat anak dan mengurus rumah, insya Allah pujian akan membuat seorang istri merasa dihargai serta menyuburkan cinta di antara suami istri. Genggam tangannya di depan umum Ada juga wanita yang pemalu dan justru tidak suka menampakkan kemesraan di depan umum, tapi kalau hanya sekadar menggenggam tangan sepertinya masih pada kadar toleransi yang diperbolehkan. Sekalian menggugurkan dosa-dosa juga toh, sebagaimana hadits Rasulullah SAW: “Dan apabila seorang suami, menggengam tangan istrinya, maka dosa mereka akan jatuh berguguran di sela-sela jari tangan mereka.” Pandangi istri dengan mesra Ini juga amalan yang bisa sekali dayung, 2-3 pulau terlampaui. Tataplah istri dengan penuh perhatian, selain Allah akan memandang kita dengan penuh kasih, juga bisa membuat istri merasa senang karena diperhatikan. “Sesungguhnya bila seorang suami menatap istrinya dan Istri membalas pandangan (dengan penuh cinta kasih ) maka Allah akan memandang mereka dengan pandangan penuh kasih sayang.” Pasang fotonya di sosial media milikmu Hal kecil selanjutnya adalah upload foto istri dan anak di sosial media milikmu, atau foto berdua sebagai display whats app/bbm, waah… pasti berbunga-bunga hatinya karena merasakan cinta dan kebanggaan suami terhadapnya. Dengarkan setiap kali ia bicara Sebenarnya wanita itu simpel, mereka hanya butuh didengarkan dan direspon positif, bukannya malah dikomentari atau digurui. Cukup dengarkan segala keluh kesah dan curhatannya, niscaya ia akan merasa plong dan bahagia. Perkenalkan ia di depan teman-temanmu Seorang istri biasanya merasakan persaingan ketat dengan hobi dan komunitas/ teman-teman suaminya, jika kita dapat mengajak istri dan memperkenalkan istri dengan bangga di depan teman-teman, kemungkinan besar istri akan merasa senang karena dipercaya. Nyanyikan lagu untuknya Poin ini khusus untuk para suami yang memiliki suara merdu, jika tidak bisa membuatkan puisi atau menyetelkan lagu yang sesuai dengan maksud hati. Hati wanita akan merasa tersanjung jika diberikan lagu-lagu cinta dan penuh rayuan ‘gombal’. Luangkan waktu untuk jalan-jalan bersama Sesibuk apapun, sempatkan waktu untuk berdua saja dengan istri berjalan-jalan, meskipun hanya untuk berbelanja bareng di supermarket, atau menjajal kuliner baru dekat rumah. Beri kejutan Wanita sangat menyukai kejutan, coba cari tahu apa yang paling diinginkan oleh istri, kemudian belikanlah untuknya! Bisa berupa hal-hal sederhana semacam: surat cinta, setangkai mawar merah, bros manis, dan lain sebagainya. 10. Ingat tanggal lahirnya & tanggal pernikahan dan beri ucapan mesra Hal kecil dan tampak sepele lainnya tapi sesungguhnya bisa berdampak besar adalah dengan mengingat tanggal lahir dan tanggal pernikahan, kemudian merayakannya bersama minimal dengan membaca doa bareng-bareng ataupun membuat resolusi bersama. Demikianlah 10 hal kecil yang berdampak besar untuk kebahagiaan istri, para suami silakan mencobanya, semoga bermanfaat. Wallaahualam. See more at: WartaDakwah 3.5/5 - (2 votes)
12 Desember 2014
Hikmah
berdo’a di waktu yang istijabah Waktu-Waktu Do’a Mustajab Allah memberikan masing-masing waktu dengan keutamaan dan kemuliaan yang berdeda-beda, diantaranya ada waktu-waktu tertentu yang sangat baik untuk berdoa, akan tetapi kebanyakan orang menyia-nyiakan kesempatan baik tersebut. Mereka mengira bahwa seluruh waktu memiliki nilai yang sama dan tidak berbeda. Bagi setiap muslim seharusnya memanfaatkan waktu-waktu yang utama dan mulia untuk berdoa agar mendapatkan kesuksesan, keberuntungan, kemenangan dan keselamatan. Adapun waktu-waktu mustajabah tersebut antara lain. 1. Sepertiga Akhir Malam Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda. Sesungguhnya Robb kami yang Maha Berkah lagi Maha Tinggi turun setiap malam ke langit dunia hingga tersisa sepertiga akhir malam, lalu berfirman ; Barangsiapa yang berdoa, maka Aku akan kabulkan, barang siapa yang memohon, pasti Aku akan perkenankan dan barangsiapa yang meminta ampun, pasti Aku akan mengampuninya. [Shahih Al-Bukhari, kitab Da’awaat bab Doa Nisfullail 7/149-150] 2. Tatkala Berbuka Puasa Bagi Orang Yang Berpuasa Dari Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash Radhiyallahu ‘anhu bahwa dia mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda. Sesungguhnya bagi orang yang berpuasa pada saat berbuka ada doa yang tidak ditolak. [Sunan Ibnu Majah, bab Fis Siyam La Turaddu Da’watuhu 1/321 No. 1775 Hakim dalam kitab Mustadrak 1/422. Dishahihkan sanadnya oleh Bushairi dalam Misbahuz Zujaj 2/17]. 3. Setiap Selepas Shalat Fardhu Dari Abu Umamah, Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang doa yang paling didengar oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, beliau menjawab. Di pertengahan malam yang akhir dan setiap selesai shalat fardhu. [Sunan At-Tirmidzi, bab Jamiud Da’awaat 13/30. Dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi 3/167-168 No. 2782]. 4. Pada Saat Perang Berkecamuk Dari Sahl bin Sa’ad Radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda. Ada dua doa yang tidak tertolak atau jarang tertolak ; doa pada saat adzan dan doa tatkala perang berke-camuk. [Sunan Abu Daud, kitab Jihad 3/21 No. 2540. Sunan Baihaqi, bab Shalat Istisqa’ 3/360. Hakim dalam Mustadrak 1/189. Dishahihkan Imam Nawawi dalam Al-Adzkaar hal. 341. Dan Al-Albani dalam Ta’liq Alal Misykat 1/212 No. 672]. 5. Sesaat Pada Hari Jum’at Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwa Abul Qasim Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda. Sesungguhnya pada hari Jum’at ada satu saat yang tidak bertepatan seorang hamba muslim shalat dan memohon sesuatu kebaikan kepada Allah melainkan akan diberikan padanya, beliau berisyarat dengan tangannya akan sedikitnya waktu tersebut. [Shahih Al-Bukhari, kitab Da’awaat 7/166. Shahih Muslim, kitab Jumuh 3/5-6] Waktu yang sesaat itu tidak bisa diketahui secara persis dan masing-masing riwayat menyebutkan waktu tersebut secara berbeda-beda, sebagaimana yang telah disebutkan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari 11/203. Dan kemungkinan besar waktu tersebut berada pada saat imam atau khatib naik mimbar hingga selesai shalat Jum’at atau hingga selesai waktu shalat ashar bagi orang yang menunggu shalat maghrib. 6. Pada Waktu Bangun Tidur Pada Malam Hari Bagi Orang Yang Sebelum Tidur Dalam Keadaan Suci dan Berdzikir Kepada Allah Dari ‘Amr bin ‘Anbasah Radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : Tidaklah seorang hamba tidur dalam keadaan suci lalu terbangun pada malam hari kemudian memohon sesuatu tentang urusan dunia atau akhirat melainkan Allah akan mengabulkannya. [Sunan Ibnu Majah, bab Doa 2/352 No. 3924. Dishahihkan oleh Al-Mundziri 1/371 No. 595] Terbangun tanpa sengaja pada malam hari.[An-Nihayah fi Gharibil Hadits 1/190] Yang dimaksud dengan ta’ara minal lail terbangun dari tidur pada malam hari. 7. Doa Diantara Adzan dan Iqamah Dari Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda. Doa tidak akan ditolak antara adzan dan iqamah. [Sunan Abu Daud, kitab Shalat 1/144 No. 521. Sunan At-Tirmidzi, bab Jamiud Da’waat 13/87. Sunan Al-Baihaqi, kitab Shalat 1/410. Dishahihkan oleh Al-Albani, kitab Tamamul Minnah hal. 139] 8. Doa Pada Waktu Sujud Dalam Shalat Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda. Adapun pada waktu sujud, maka bersungguh-sungguhlah berdoa sebab saat itu sangat tepat untuk dikabul kan. [Shahih Muslim, kitab Shalat bab Nahi An Qiratul Qur’an fi Ruku’ wa Sujud 2/48] Yang dimaksud adalah sangat tepat dan layak untuk dikabulkan doa kamu. 9. Pada Saat Sedang Kehujanan Dari Sahl bin a’ad Radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Dua doa yang tidak pernah ditolak ; doa pada waktu adzan dan doa pada waktu kehujanan. [Mustadrak Hakim dan dishahihkan oleh Adz-Dzahabi 2/113-114. Dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahihul Jami’ No. 3078]. Imam An-Nawawi berkata bahwa penyebab doa pada waktu kehujanan tidak ditolak atau jarang ditolak dikarenakan pada saat itu sedang turun rahmat khususnya curahan hujan pertama di awal musim. [Fathul Qadir 3/340]. 10. Pada Saat Ajal Tiba Dari Ummu Salamah bahwa Rasulullah mendatangi rumah Abu Salamah (pada hari wafatnya), dan beliau mendapatkan kedua mata Abu Salamah terbuka lalu beliau memejamkannya kemudian bersabda. Sesungguhnya tatkala ruh dicabut, maka pandangan mata akan mengikutinya’. Semua keluarga histeris. Beliau bersabda : ‘Janganlah kalian berdoa untuk diri kalian kecuali kebaikan, sebab para malaikat meng- amini apa yang kamu ucapkan. [Shahih Muslim, kitab Janaiz 3/38] 11. Pada Malam Lailatul Qadar Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman. Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu penuh kesejahteraan sampai terbit fajar. [Al-Qadr : 3-5] Imam As-Syaukani berkata bahwa kemuliaan Lailatul Qadar mengharuskan doa setiap orang pasti dikabulkan. [Tuhfatud Dzakirin hal. 56] 12. Doa Pada Hari Arafah Dari ‘Amr bin Syu’aib Radhiyallahu ‘anhu dari bapaknya dari kakeknya bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda. Sebaik-baik doa adalah pada hari Arafah. [Sunan At-Tirmidzi, bab Jamiud Da’waat 13/83. Dihasankan oleh Al-Albani dalam Ta’liq alal Misykat 2/797 No. 2598] Disalin dari buku Jahalatun nas fid du’a, edisi Indonesia Kesalahan Dalam Berdoa, oleh Ismail bin Marsyud bin Ibrahim Ar-Rumaih, hal 181 – 189, terbitan Darul Haq, penerjemah Zainal Abidin Lc ~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~ Diriwayatkan dari Al Hasan bahwasannya tempat-tempat berdoa yang Istijabah (Maqbul) di Mekkah ada 15 tempat. 1. Di sekitar tempat Tawaf 2. Di Multazam 3. Di bawah Pancuran/Talang Emas/Hijir Ismail 4. Di dalam Ka’bah 5. Di sekitar sumur Zam Zam 6. Di Sofa 7. Di Marwah 8. Di sepanjang jalur Sa’i 9. Di belakang Makam Ibrahim 10. Di Arafah 11. Di Muzdalifah 12. Di Mina 13. Di sekitar Jumrah Ula 14. Di sekitar Jumrah Wusta 15. Di Sekitar Jumrah Aqobah Diriwayatkan pula selain Al Hasan bahwasannya berdoa yang mustajab yaitu : 16. Di sekitar Hajar Aswad 17. Di sekitar dinding Ka’bah Tempat-tempat yang Mustajab di Madinah yaitu : 1. Di Raudah 2. Di Masjid Quba Sumber : Mutiara Hikmah 5/5 - (3 votes)
11 Desember 2014
Hikmah
Abu Jahal Amr bin Hisyam yang sempat populer dengan gelar Abul-Hakam, oleh Baginda Rasul Saw. justru dijuluki dengan Abu Jahl yang artinya: Bapak kejahilan! Kira-kira apa saja yang menyebabkan julukan itu ditujukan kepada sosok Amr bin Hisyam? Tiada lain karena ia memiliki lima sifat tercela yaitu : 1- لا يعلم 2- لا يريد أن يعلم 3- لا يريد لغيره أن يعلم 4- يدعي أنه يعلم 5- ينكر على من يعلم 1. Tidak tahu, 2. Tidak mau tahu (gengsi), 3. Tidak mau orang lain tahu (mencegah yang lain juga untuk tahu), 4. Mengaku diri tahu (sok tahu), dan 5. Ingkar (tidak percaya) kepada yang tahu (hanya membenarkan diri sendiri). Bila kelima sifat itu terdapat pada diri seseorang maka ia bukan hanya jahil, akan tetapi kejahilan itu telah menjadi anaknya! Ia telah menjadi Abu Jahl, persis seperti Amr bin Hisyam! Dengan demikian, maka untuk menjadi orang yang tidak jahil, kelima sifat di atas harus dihindari jauh-jauh, niscaya ilmu yang benar dapat dituntut dan diraih dengan semudah mungkin. Terdapat empat sifat lagi yang harus dijauhi selama menuntut ilmu yang haq, yang mana keempat sifat ini apabila masih ada pada seorang murid, baik semua maupun salah satunya, maka ia takkan mampu menerima sebuah kebenaran (ilmu yang benar) walau dijelaskan berkali-kali oleh siapapun. Keempat sifat itu adalah : 1- المستكبر 2- المستغني 3- المستحي 4- المستنكف 1. Sombong (takabbur), 2. Gengsi, ragu-ragu atau suka menunda, 3. Malu-malu, dan 4. Merasa cukup. Sebagaimana firman Allah Swt. dalam surat Nuh ayat 7 : ” وإني كلما دعوتهم لتغفر لهم جعلوا أصابعهم في آذانهم واستغشوا ثيابهم وأصروا واستكبروا استكبارا ” “Dan sesungguhnya setiap kali aku menyeru mereka agar Engkau mengampuni mereka, mereka memasukkan anak jari mereka ke dalam telinga (mustankif) dan menutupkan baju (mustahi) dan mereka tetap pada pendirian mereka (mustaghni) dan menyombongkan diri dengan sangat (mustakbir)”. Mudah-mudahan kita jauh dari keempat sifat keji itu, Amin! Diceritakan bahwasanya seorang ulama’ besar mendapat undangan buka puasa bersama di rumah seorang hukama’. Puluhan meja makan dengan sajian yang sama siap ditempati dan dinikmati oleh para tamu undangan. Setiap meja memuat sekitar 6 orang, nampaknya hidangan yang disajikan sang hukama’ amat banyak, setiap kelompok mulai menyantap sambil berbincang-bincang di meja masing-masing. Sementara suasana meja makan yang ditempati ulama’ tersebut tampak berbeda dengan meja-meja yang lain, apa yang terjadi? Ulama’ itu bertanya kepada teman makannya: “Maukah kamu bila ilmumu semakin bertambah?” Ia menjawab: “Terima kasih, ilmu yang ada padaku sudah cukup!”. Suasana kembali tenang dan sunyi dari kata-kata. Ulama’ itupun bertanya kepada teman makan berikutnya: “Ada pertanyaan?” Ia hanya berdiam dan tak menjawab sambil menundukkan kepala! Ditanyakannya lagi: “Ada pertanyaan?” Ia mulai menjawab: “Maaf pak ustadz, saya malu!”. Suasana kembali tenang sejenak, sunyi dari kata-kata. Kemudian ulama’ itu mencoba lagi menanyakan teman makan selanjutnya demi mengamalkan sunnah (ngobrol bermanfaat sambil makan berjamaah), beliau bertanya: “Ada yang ingin ditanyakan atau didiskusikan agar suasana lebih ramai dan buka puasa lebih dinikmati?” Ia menjawab: “Iya, ada, tapi saya kan punya masa dan murid yang banyak, ilmu dan wawasanku tentang agama juga cukup luas, kan tidak baik alias memalukan kalau saya nanya ke anda!” Secara langsung ulama’ itu bertanya kepada teman yang keempat: “Kalau saudara?” Ia ternyata menjawab: “Emangnya kamu itu siapa sih sampai aku harus nanya ke kamu? kamu kan lebih kecil dari aku, dan aku sudah baca semua buku dan memahaminya dengan benar, adapun yang belum aku fahami, aku yakin orang lain juga belum tentu faham!” Ulama’ itu lalu diam penuh rasa heran! tidak ada satupun memberi jawaban yang enak didengar! Setelah berakhirnya acara buka puasa bersama dan para tamu mulai meninggalkan tempat, ulama’ tersebut ditanya oleh hukama’ (yang mengundang): “Mengapa anda hari ini? apa makanannya tidak enak?” Ulama’ itu menjawab: “Saya cuma heran dengan sikap keempat orang yang menemaniku makan tadi?” Hukama’ itu menjawab: “Saya lebih heran lagi karena saya tidak pernah menduga kalau keempat sifat itu bisa kumpul di satu meja!” Ulama’ lalu bertanya: “Apa saja empat sifat itu?” Hukama’ itu menjawab: “Empat orang yang tidak akan pernah mendapat ilmu adalah; Mustankif (yang pertama), Mustahi (yang kedua), Mustaghni (yang ketiga) dan Mustakbir (yang ditanya terakhir kali)!”. Semoga Allah Swt. menjauhkan kita dari kejahilan yang menyesatkan, Amin! Sumber : –>> Muslimedianews.com 2/5 - (1 vote)
10 Desember 2014
Hikmah
Jamaah 1. Pahala langkah kaki Seorang yang berjalan ke masjid, maka tiap langkah kakinya akan diberikan satu pahala, dihapuskan satu dosa, dan dinaikkan satu derajat oleh Allah SWT. (Ibnu Majah:277,Muslim:1068 dan 1065). 2. Pahala menunggu waktu shalat Banyak diantara kita yang berangkat ke masjid pas adzan supaya bisa cepet selesai. Tapi yang luar biasa, kita sebenarnya dapet pahala yang besar pas kita lagi nunggu waktu shalat! Jadi sebaiknya gunakan waktu menunggu shalat untuk berdzikir. Orang yang menunggu sholat di masjid diberi pahala seperti sedang sholat (Bukhari:611) 3. Di do’akan Malaikat Seorang yang menunggu shalat, tepatnya dari masuk mesjid sampe waktu shalat, maka dia bakal didoakan malaikat dengan doa : “Ya Allah Ampunila dia, Ya Allah ampunilah dia”, tanpa henti sampai waktu shalat. Subhanallah! 4. Mendapat naungan saat kiamat Ada tujuh golongan yang dinaungi kelak. Dan salah satunya adalah orang yang hatinya terpaut dengan masjid. Seorang pemuda yang hatinya terikat dengan masjid, orang-orang itulah yang akan mendapat perlindungan dari Allah saat kiamat kelak. (Al-Bukhor:620) 5. Doa malaikat ketika di shaf terdepan Sesungguhnya para Malaikat memberikan sholawat kepada orang-orang yang berada di shaf pertama.” (HR. Ibnu Hibban no.2157) Menanggapi sabda Beliau, para sahabat bertanya, “Apakah juga kepada orang-orang yang berada di shaf kedua wahai Rasulullah? ” Kemudian Rasulullah berkata, “Juga kepada orang-orang yang berada dishaf kedua.” HR. Ahmad dan Ath Thabrani, 6. Subuh dan 119 pahala Seseorang yang melaksanakan shalat subuh berjamaah, maka orang itu akan mendapatkan pahala 119 kali dibanding shalat sendiri. (Muslim:1049). 7. Isya dan 59 pahala Seseorang yang melaksanakan shalat isya berjamaah, maka dia bakal dapat pahala 59 kali lipat. (Muslim:1038) 8. Dzuhur, Ashar, Magrib dan 27 pahala Kalau shalat dzuhur jamaah, ashar jamaah, dan magrib jamaah, masing masing dilipatgandakan 27 kali kalau kita laksanakan secara jamaah (Muslim:1038) 9. Pahala ketika sakit Ketika kita sedang sakit dan tidak bisa ke masjid (setiap hari udah ke masjid). Pada saat kita tidak ke masjid dan shalat di rumah, kita akan dapat pahala yang sama seperti waktu shalat di masjid. (Abu Daud:2687) 10. Terhindar dari sifat munafiq Tidak ada sholat yang lebih berat bagi orang-orang munafiq dari pada sholat subuh dan isya. Seandainya mereka tahu nilai yang terkandung di dalam kedua sholat itu, pastilah mereka mendatangi (masjid tempat) kedua sholat itu meskipun dengan merangkak. (Al-Bukhori:617) Sumber: —>> <3 1/5 - (1 vote)
8 Desember 2014
Hikmah
kasih sayang Apa yang dilakukan orang paling sabar yang pernah Anda kenal saat seseorang membuang air kecil di dalam masjid? Memarahinya? Kemungkinan besar! Menegurnya dengan baik untuk tidak buang air kecil sembarangan? Bisa jadi, tetapi kemungkinannya sangat kecil! Hal ini pernah terjadi pada zaman Rasulullah Saw. Ketika itu, seorang Badui yang tidak tahu-menahu tentang hukum dan peradaban tiba-tiba datang dan langsung buang air kecil di dalam masjid. Tindakan orang Badui itu tentu saja memancing reaksi para sahabat yang melihatnya. Sahabat Rasulullah menegur orang Badui itu dengan keras, meminta laki-laki itu menghentikan perbuatannya. Tahukah Anda apa yang dilakukan oleh Rasulullah Saw.? Beliau adalah orang yang paling mencintai dan menghormati masjid. Marahkah beliau ketika melihat perbuatan orang Badui itu? Apakah beliau menyuruh para sahabat segera membawa orang Badui itu ke luar dari masjid? Ternyata tidak. Dengan tenang Rasulullah Saw. bersabda, ”Biarkan dia.” Mendengar sabda tersebut, sahabat-sahabat beliau pun membiarkan laki-laki Badui tersebut sampai selesai buang air kecil. Ketika orang Badui itu telah menuntaskan hajatnya, barulah Rasulullah Saw. memanggilnya dan bersabda, “Sesungguhnya masjid ini tidak boleh terkena air kencing ataupun kotoran lainnya sedikit pun. Sesungguhnya ia digunakan untuk mengingat Allah, shalat, dan membaca Al-Quran.” Setelah itu, Rasulullah memerintahkan salah seorang sahabat untuk membawa seember air. Kemudian beliau menyiramkan air tersebut ke bekas kencing orang Badui tadi. (HR Bukhari Muslim) Demi Allah, perhatikanlah wahai kaum muslim, betapa lembutnya perlakuan beliau kepada orang yang tidak mengetahui. Beliau tidak mengusir, tidak memarahi, juga tidak menegur dengan kata-kata yang keras. Beliau menegur secara baik-baik. Beliau pun memberikan penjelasan mengapa hal tersebut tidak diperbolehkan. Jadi, bukan sekadar melarang. Subhanallah. Betapa kita sering lupa mengikuti teladan beliau. Betapa kita sering menegur dengan keras dan melarang tanpa memberi penjelasan secara gamblang. Menyalahkan tanpa memberitahu letak kesalahan. ”Dan tiadalah Kami mengutus kamu melainkan sebagai rahmat bagi semesta alam.” (QS Al-Anbiyaa’ [21] : 107) Sumber : Breaking News 3/5 - (2 votes)
1 Desember 2014
Hikmah
sholat duha Dari Abu Dzar Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: يصبح على كل سلامي من أحدكم صدقة. فكل تسبيحة صدقة. وكل تحميدة صدقة. وكل تهليلة صدقة. وكل تكبيرة صدقة. وأمر بالمعروف صدقة. ونهي عن المنكر صدقة. ويجزئ، من ذلك، ركعتان يركعهما من الضحى “Hendaknya di antara kalian bersedekah untuk setiap ruas tulang badannya. Maka setiap bacaa tasbih adalah sedekah, setiap bacaan tahmid adalah sedekah, setiap bacaan tahlil adalah sedekah, setiap bacaan takbir adalah sedekah, beramar ma’ruf adalah sedekah, dan mencegah kemungkaran adalah sedekah. Dan itu semua sudah tercukupi dengan dua rakaat sholat dhuha.” (HR. Muslim No. 720, Al Baihaqi, As Sunan Al Kubra, No. 4677, 19995, Ibnu Khuzaimah No. 1225) Hadits Kedua: Dari Buraidah Radhiallahu ‘Anhu, “Aku mendengar bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: في الإنسان ستون وثلاث مائة مفصل عليه أن يتصدق عن كل مفصل منه بصدقة قالوا ومن يطيق ذلك يا رسول الله قال النخاعة تراها في المسجد فتدفنها أو الشيء تنحيه عن الطريق فإن لم تجد فركعتا الضحى “ Dalam tubuh manusia terdapat 360 tulang. Ia diharuskan bersedekah untk tiap ruas tulang itu.” Para sahabat bertanya: “Siapa yang mampu melakukan itu ya Rasulullah?” Beliau menjawab: “Dahak yang ada di masjid lalu ditutupnya dengan tanah, atau menyingkirkan gangguan dari jalan, atau sekali pun tidak mampu maka sholatlah dua rakaat pada waktu dhuha .” (HR. Ibnu Hibban No. 1642, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Ash Shahih At Targhib wat Tarhib No. 2971. Juga diriwayatkan oleh Abu daud dan Ahmad) Bila ilmunya sudah ditakdirkan sampai, maka sebaiknya syukuri dengan mengamalkannya. —->> Breaking News Rate this post
30 November 2014
Hikmah
Hukuman-Rajam Pandangannya tertunduk. Sorot matanya menyiratkan penyesalan yang mendalam. Perutnya tampak membesar. “Wahai Rasulullah, aku telah berzina. Aku layak mendapatkan hukuman rajam. Maka tegakkanlah hukuman had atas diriku,” wanita itu benar-benar ingin bertaubat. Ia memahami, dosa zina tidak mendapatkan ampunan secara sempurna kecuali dengan benar-benar bertaubat dan hukuman had ditegakkan. Ia meminta dirajam, dan ia tahu bahwa rajam akan merenggut nyawanya. Rasulullah tidak langsung menjawab. Sebab dalam Islam, dosa zina yang tidak diketahui orang lain, pengadilan tak bisa menuntutnya. Secara Fiqih, hukuman had atas zina ditegakkan jika ada empat saksi yang melihat perbuatan keji tersebut. Tapi wanita ini datang sendiri mengakui. “Janin dalam perut ini adalah buktinya ya Rasulullah,” lanjut wanita itu meyakinkan bahwa ia pantas dirajam. “Pulanglah. Setelah bayimu lahir, barulah engkau kembali ke sini,” demikian keputusan Rasulullah. Sungguh, beliau adalah Nabi yang selalu dibimbing wahyu. Beliau adalah hakim yang paling bijaksana sedunia. Kasih sayang adalah jiwa dari setiap keputusannya. Tidak mungkin bagi beliau menghukum seorang wanita yang tengah hamil. Bagaimana nasib kandungannya? Selain itu, menurut banyak ulama, Rasulullah juga memberikan kesempatan kepada wanita tersebut agar ia konsentrasi menjaga janinnya, menjaga bayinya dan terlupa dengan permintaan hukuman yang ia ajukan hari itu. Hari demi hari berlalu dengan cepat. Beberapa bulan kemudian, wanita itu melahirkan. Lalu ia pun kembali menghadap Rasulullah. “Ya Rasulullah, aku wanita yang beberapa bulan lalu menghadapmu meminta ditegakkan had atasku. Maka rajamlah aku,” demikian kira-kira pinta wanita itu. Dan kembali Rasulullah menolak permintaan itu. Beliau memintanya untuk merawat dulu anaknya, hingga masa persusuan selesai. Ternyata wanita itu tidak lupa. Ia datang lagi setelah masa menyusui anaknya ia anggap cukup. “Ya Rasulullah, aku wanita yang dulu datang menghadapmu meminta ditegakkan had atasku. Maka rajamlah aku.” Permintaan itu akhirnya dikabulkan Rasulullah. Beliau pun menegakkan hukum had atasnya. Hingga ia menghembuskan nafas terakhirnya. Ketika Rasulullah menshalati jenazah wanita itu, Umar bin Khatab heran. “Wahai Rasulullah, mengapa Engkau menshalatinya padahal wanita itu telah berzina?” Beliau pun menjawab, “Wanita ini telah bertaubat dengan taubat yang seandainya taubatnya tersebut dibagi kepada 70 orang dari penduduk Madinah maka itu bisa mencukupi mereka. Apakah engkau dapati taubat yang lebih baik dari seseorang mengorbankan jiwanya karena Allah Ta’ala?” Masya Allah… Sungguh luar biasa wanita tersebut. Bahkan ia memperoleh kedudukan yang sangat mulia di sisi Allah dan dalam pandangan Rasulullah. Taubatnya mencukupi untuk 70 orang dan taubatnya digolongkan sebagai taubat terbaik. Di dunia ini, tak ada orang yang bersih dari dosa dan kesalahan kecuali Nabi yang dijaga Allah (ma’shum). Dan seperti hadits Rasulullah, sebaik-baik orang yang bersalah adalah yang mengikutinya dengan taubat. Sebaik-baik orang yang berdosa adalah orang yang mau bertaubat dari dosanya. Kita semua punya dosa, tetapi Allah membukakan pintu taubat untuk kita. Pertanyaannya, maukah kita bertaubat… dan seperti apa kualitas taubat kita? [Kisahhikmah.com] 3/5 - (3 votes)
5 Juli 2014
Hikmah
pengajian kitab oleh KH. saiful Islam GENGGONG-Sudah bukan rahasia di bulan suci Ramadhan, setiap orang selalu menyambut datangnya bulan suci itu dengan berbagai kegiatan yang mengandung nilai ibadah. selalu menjadi momen special dalam keluarga, lingkungan sekolah dan kampus, termasuk bagi kalangan pesantren. Mentradisikan hataman kitab sebagai salah satu kegiatan yang dilakukan santri yang tujuannya tak lain adalah ingin mendapatkan berkah (bertabarruk) di bulan Ramadhan. Begitu pula Pesantren Zainul Hasan Genggong, mengaji kitab menjadi agenda yang tak pernah luput setian tahun. kegiatan ini mempertahankan atsar Pesantren Zainul Hasan, yang telah menjadi kebiasaan para pendiri Pesantren sejak zaman Almarhum KH. Zainal Abidin, Almarhum KH. Moh. Hasan, dan Almarhum KH. Hasan Saifourridzal. “Khusus ngaji kitab ba’da shalat tarawih, kitab yang bernuansa tasawuf. Seperti yang di kaji tahun ini, kitab Risalatul Muawanah karangan Sayyid Syarif Abdullah bin Alwi bin Muhammad Al-hadad,” ujar Ahmad Rosuli Zaid, salah satu ustadz yang sudah 15 tahunan mengabdi di Pesantren Zainul Hasan. Tak jauh beda dengan tahun sebelumnya, Tahun ini di Pesantren Zainul Hasan lebih fokus kepada pengajian kitab, karna setiap lembaga mulai dari tingkad dasar dan menengah juga Perguruan tinggi STIH, dan INZAH sedang libur semester, beda dengan tahun sebelumnya yang masih berbenturan dengan masuknya tiap lembaga. Jadi pengajian kitab kepada shohibul bait hanya fokus pada malam hari saja, namun Ramadhan kali mulai dari pukul 12.00 ba’da dzuhur sampai pukul 22.00 WIB. Sementara kitab yang di kaji selama bulan ramadhan tahun ini, Diantaranya: kitab Naylul Barokah di bacakan oleh Gus Ahsan Qomaruzzaman pada jam 12.00-13.00 WIB, kitab Al-Muhlikatu Walmunjiat di bacakan oleh KH. Moh. Hasan Nauval jam 13.00-14.30, kitab Asrorus Sholat di bacakan oleh Gus Hasan Ahsan Malik jam 15.00-17.00, kitab Durrotun Nasihin di bacakan oleh KH. Moh. Hasan Saiful Islam pada 18.00-19.00, dan kitab Risalatul Muawanah di bacakan oleh Guru besar KH. Moh Hasan Mutawakkil Alallah, SH., MM. yang dijadwalkan setelah shalat tarawih (20.30-21-30 wib), semuanya dilaksanakan di masjid jami’ Al-Barokah Genggong. Pengajian kitab ini di ikuti oleh semua santri putra dan putri, untuk putra di masjid jami’ Al-barokah dan putri di Aula Pesantren. Pengajian kitab ini membuat antusias para santri tinggi, sebab pengajian ini dibarengi dengan keterangan dan canda-tawa oleh para guru besar. Semoga rutinitas ini menjadikan sumber barokah di bulan suci Ramadhan. Amin (sh/af) Rate this post
25 Juni 2014
Hikmah
Marhaban Ya Romadhan Selamat datang bulan suci Ramadhan, dimana bulan terbaik dari semua bulan. Bulan keagungan yang penuh hikmah, berkah, rahmah dan ampunan. Dan inilah saat-saat yang paling indah bagi yang mendambakan kesejatian hidup. Inilah saat-saat ketika tiap detik kehidupan harus diisi dengan amal saleh dan kebajikan. Inilah saat-saat ketika tiap tarikan nafas dan getaran lidah mulai dihiasi dengan dzikir dan taubat. Inilah saat-saat ketika seluruh umat manusia bergembira akan menyambutnya. Umar ibnul Khathab r.a. berkata, “Orang yang berdzikir kepada Allah pada bulan Ramadhan akan diampuni dosa-dosanya; dan yang memohon kepada Allah pada bulan Ramadhan tidak akan kecewa.” Lalu Rasulullah S.A.W. pun senantiasa menyambut gembira setiap datangnya Ramadhan, dan berita gembira itu disampaikan pula kepada para sahabatnya seraya bersabda: “Sungguh telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang penuh keberkatan. Allah telah memfardlukan atas kamu puasanya. Di dalam bulan Ramadhan dibuka segala pintu surga dan dikunci segala pintu neraka dan dibelenggu seluruh setan. Padanya ada suatu malam yang lebih baik dari seribu bulan. Barangsiapa tidak diberikan kepadanya kebaikan malam itu maka sesungguhnya dia telah dijauhkan dari kebajikan” (Hr. Ahmad) Menyambut bulan Ramadhan kali ini kita harus merancang suatu langkah yang strategis agar kita memperoleh hikmah dan pahala dari Allah SWT. Jangan hanya memikirkan menu untuk berbuka puasa dan sahur saja, tapi kita harus menyusun menu rohani dan ibadah kita kepada Allah, dengan kualitas yang lebih baik dari pada hari-hari biasa. Karena dengan mempersiapkan dan memprogram aktifitas kita selama bulan Ramadhan ini, insya Allah akan menghasilkan kebahagiaan. Dalam sebuah hadist Nabi bahwa orang yang berpuasa akan mendapatkan dua kebahagiaan: Kebahagiaan ketika ia “Ifthar” (berbuka). Ini artinya kebahagiaan duniawi, yang didapatkannya ketika ia terpenuhi keinginan dan kebutuhan jasmani yang sebelumnya telah dikekangnya, maupun kabahagiaan rohani karena terobati kehausan sipritualitas dengan siraman-siraman ritualnya dan amal sholehnya. Kebahagiaan ketika bertemu dengan Tuhannya. Inilah kebahagian ukhrawi yang didapatkannya pada saat pertemuan yang hakiki dengan al-Khaliq. Ini adalah puncak dari setiap kebahagiaan yang ada. Akhirnya, hikmah dan keutamaan puasa dibulan Ramadhan diatas, dapat dijadikan suatu motivasi untuk memperoleh pahala serta mendapatkan maghfirah (ampunan) dan ridlwan (keridlaaan) dari Allah Yang Maha Agung.Semoga dengan mempersiapkan diri kita menghadapi Ramadhan yang akan datang, diberikan kekuatan iman dan islam,serta diberikan keikhlasan dalam ibadah – ibadah kita selama bulan Ramadhan ini. Amin(sh) Rate this post
6 Mei 2014
Hikmah
KH. Umar Hamdan sedang memberikan ceramah Malam Jumat (04/04) selepas shalat berjamaah Isya’, semua santri khidmat mendengarkan ceramah yang disampaikan oleh KH. Umar Hamdan bin Karror. Dalam ceramah nya beliau menyampaikan masalah khidmah Khidmah adalah mengabdi kepada seseorang, sebuah lembaga atau kepada orang yang membutuhkan. Khidmah berasal dari bahasa Arab yang berarti mengabdi. Ada cerita yang berkaitan dengan hal ini, Habib Umar bin abdur Rahman Al-Atthas shohibu Ratibil Atthas, beliau memiliki seorang santri yang khidmahnya luar biasa. Pada suatu hari, Habib Umar bin Abdur Rahman Al-Atthas mengumumkan pada semua santrinya, bahwa di pintu depan akan muncul seorang yang mulia, yakni Nabi Khidir AS. Semua santri bersiap-siap, berdiri di belakang pintu menunggu kedatangan Nabi Khidir AS. Namun ada seorang santri yang tidak berdiri, dia adalah As-Syeh Ali bin Abdullah Karras yang tetap pada posisi duduk di dekat gurunya. Sang guru heran, dan bertanya “Nak, kenapa kamu tetap duduk, tidak berdiri bersama teman-temanmu untuk menyambut kedatangan Nabi Khidir AS?”. “Benar guru. Saya santri jenengan. Niat saya mengabdi kepada jenengan. Saya menunggu dan berada didekat jenengan lebih utama untuk selalu saya lakukan” santri menjawab. Habib Umar bin Abdullah Al-Atthas tertegun mendengar perkataan santrinya. Beliau sangat bangga padanya. Rasa bangga sang guru meluap, sehingga beliau bersumpah “Tak akan sampai sambungan silsilah sanad kepadaku sebelum menyebutkan nama santriku ini”. Sampai saat ini nama Ali bin Abdullah Karras selalu disebut oleh orang-orang yang ingin menyambungkan silsilah sanad kepada Habib Umar bin Abdullah Al-Atthas. (lil/kh) 1/5 - (1 vote)
14 April 2014
Hikmah
Suatu hari, Khalifah Umar bin Khattab RA melakukan perjalanan dinas rahasia, sendiri tanpa pengawalan dan tanpa membawa staf. Ia pergi dengan biaya sendiri, tidak menggunakan uang negara walaupun negara menyediakan biaya perjalanan dinas. Ia khawatir kalau membawa rombongan biaya perjalanan dinas itu akan membengkak. Dengan mengenakan pakaian rakyat biasa, ia ingin tahu keadaan rakyatnya secara langsung. Pada suatu dusun, Umar bin Khattab melihat seorang lelaki sedang duduk di muka kemahnya di bawah pohon. Dari dalam kemah itu, ia mendengar suara perempuan yang sedang merintih kesakitan. Setelah memberi salam Umar bertanya. “Apa yang sedang kau lakukan, wahai saudaraku?” “Aku sedang menunggui istriku yang akan melahirkan,” jawab lelaki itu. “Siapa yang menolongnya di dalam?” “Tidak ada…” “Jadi istrimu sendirian?” tanya Khalifah tidak mengerti. “Iya, aku tidak punya uang untuk membayar bidan,” jawab lelaki itu dengan muka sedih. “Kalau begitu, suruh istrimu menahan sebentar, aku akan segera kembali,” ucap Khalifah. Khalifah Umar segera memacu kudanya, meninggalkan lelaki itu. Dan tak jelang lama setelah itu ia kembali bersama seorang perempuan. Tanpa bicara perempuan itu langsung masuk ke dalam tenda sang lelaki yang baru mengerti apa yang sedang terjadi. “Terima kasih dan maaf telah merepotkanmu,” kata lelaki itu. “Tidak apa-apa.. tapi, ngomong-ngomong mengapa kamu tidak melaporkan keadaanmu kepada Khalifah Umar bin Khattab? Bukankah kau berhak mendapatkan jaminan dari negara?” tanya Umar . Lelaki itu langsung berdiri, dia memandang orang di depannya dengan sorot mata yang tajam dan menusuk. Umar terkejut melihat reaksi lelaki itu. “Jangan kau sebut nama orang terkutuk itu di hadapanku!” “Loh.. memangnya kenapa, wahai saudaraku?” Umar penasaran. “Orang itu hanya mementingkan dirinya sendiri. Dia tak punya perhatian kepada rakyat kecil. Dia hanya peduli dengan orang-orang kaya yang akan melanggengkan kekuasaanya,” jawab lelaki itu penuh amarah. “hmm.. kau sudah pernah bertemu dengannya?” “Belum, lagi pula untuk apa aku bertemu dengannya?” “Kalau seandainya kau bertemu dengannya. Apa yang akan kau lakukan?” tanya Umar tersenyum. “Aku akan membunuhnya!” Tiba-tiba terdengar suara bayi menangis dari dalam kemah. “Ya Amirul mukminin, alhamdulillah ibu melahirkan dengan selamat! Bayi pun sehat!” teriak perempuan yang datang dengan Khalifah tadi. Khalifah Umar bin Khattab segera bersujud syukur dan berdoa kepada Allah. Sementara itu, si lelaki gembira bercampur heran. Gembira karena istri dan anaknya selamat, dan heran karena lelaki di sebelahnya dipanggil dengan sebutan “Amirul Mukminin”. “Lekas kau temui istrimu!, dan ini sekedar membantu perawatan anakmu.” Umar memberikan sekantung uang yang segera diterima lelaki itu dengan suka cita. Sebelum lelaki itu masuk, dia memandang Umar. “Wahai tuan, siapa tuan sebenarnya?” tanya lelaki itu penasaran. “Aku, Umar bin Khattab, Khalifah yang terkutuk itu,” jawab Umar sambil tersenyum. sumber 1/5 - (1 vote)
13 April 2014
Hikmah
Selang beberapa waktu usai Nabi Muhammadsaw wafat, sahabat Bilal ra. menghadap Sayyidina Abu Bakar ra untuk meminta izin meninggalkan Madinah dan pindah ke wilayah Syam. “Apa alasanmu wahai Bilal?” tanya Abu Bakar Asshidiq ra. “Di sini terlalu banyak kenangan bersama Rasulullah, sehingga ketika menatap setiap sesuatu yang pernah Rasulullah ‘sentuh’ , di situ ada banyangan yang mulia, sehingga hatiku terlalu rapuh dan mata ini terlalu berat untuk tidak menangis karena kecintaan yang begitu agung dan tulus,” jawab Bilal. Setelah diizinkan, Bilal kemudian menetap di desa Bidariyan, dekat dengan Syam. Bilal pun tak lagi mengumandangkan azan. Bukan enggan, tetapi karena tak kuat bila sampai lafal “Asyhadu anna muhammadan rasulullah”. Perasaannya berkecamuk dan tak kuasa menahan air mata, teringat akan Rasulullah saw Syahdan, di zaman khalifah Umar bin Khattab yang diangkat untuk menggantikan Abu Bakar yang telah wafat, pada suatu hari, Bilal bermimpi melihat Nabi. Rasulullah SAW berkata kepada Bilal, “Engkau tega, wahai Bilal. Kenapa engkau tidak menziarahiku lagi?” Bilal bergegas bangun setelah ditegur demikian, dan segera meringkasi barang- barangnya dan berangkat ke Madinah. Sampai di sana, ia langsung ke makam Nabi dengan berurai air mata dan menciumkan wajahnya di makam Nabi. Setelah berziarah, Bilal menghadap cucu Nabi, Hasan dan Husain. Keduanya mengatakan kepada Bilal, “Kami ingin mendengarkan azan-mu, hai muazin Nabi, sebagaimana pada masa Rasulullah.” Bilal pun naik ke menara, sesaat kemudian terdengar suara adzan khas bilal yang mampu menggetarkan kota. Penduduk kota Madinah tersentak kaget, dan puncaknya ketika sampai pada kalimat asyhadu anna muhammadan rasulullah, Bilal tak sanggup melanjutkannya. Sementara itu, hampir semua penduduk Madinah keluar dari rumah, menuju ke masjid sambil meneriakan kata: “Apakah Rasulullah diutus kembali?” Sesampainya di masjid, mereka menangis bersama, tangis penuh kerinduan, rasa kangen kepada sang kekasih mulia, Nabi Muhammad saw. Wahai para pembaca, apakah cinta dan kerinduan itu hanya milik mereka, atau kita juga merasakan kerinduan yang sama? Mari Bersholawat! sumber 1.5/5 - (2 votes)