Sumber Gambar : -
11 September 2019
Fiqih Kontemporer
Berikut Niat Puasa Tasu’ah berikut bacaan niat puasa Tasu’a pada 9 Muharram: نَوَيْتُ الصَّوْمَ فِى يَوْمِ تَاسُوْعَاء سُنّةً لله تَعالَى Bacaan Latinnya: NAWAITUS SHOUMA FI YAUMI TASU’A SUNNTAN LILLAHI TA’ALA Artinya: Saya niat puasa Tasu’a sunat karena Allalh Ta’ala Berikut Niat Puasa Asyura Sedangkan untuk bacaan niat puasa Asyura untuk 10 Muharram adalah : نَوَيْتُ الصَّوْمَ فِى يَوْمِ عَاشُوْرَاء سُنّةً لله تَعالَى Bacaan latinnya: NAWAITUS SHOUMA FI YAUMI ASYURA SUNNTAN LILLAHI TA’ALA Artinya: Saya niat puasa Asyura sunat karena Allalh Ta’ala Tentang Puasa Tasu’a dan Asyura Tasu’a berasal dari bahasa arab tis’a artinya sembilan, sementara ‘asyura berasal dari ‘asyara artinya sepuluh. Puasa Tasu’a dan ‘Asyura dikerjakan pada tanggal 9 dan 10 Muharram pada Kalender Hijriyah. Tahun ini (1428 H) puasa Tasu’a dan Asyura dikerjakan pada hari Ahad dan Senin (28 dan 29 Januari 2007 M). Hukum puasa ini adalah sunnah; dianjurkan untuk dikerjakan namun tidak berdosa bagi yang tidak melakukannya. Rasulullah SAW berdabda: “Puasa itu bisa menghapuskan dosa-dosa kecil pada tahun kemarin.” –(HR Muslim) Puasa ‘Asyura sudah dilakukan oleh masyarakat Quraisy Makkah pada masa jahiliyyah. Rasulullah SAW juga melakukannya ketika masih berada di Makkah maupun seteleh berada di Madinah. Diriwayatkan oleh Imam Muslim bahwa Rasulullah sempat diprotes oleh umat Islam di Madinah: “Ya Rasulallah, hari itu (’Asyura )diagungkan oleh Yahudi.” Maksudnya, kenapa umat Islam mengerjakan seseatu persis seperti yang dilakukan oleh umat Yahudi? Beliau lalu bersabda: “Di tahun depan insya Allah kita akan berpuasa pada tanggal 9.” Setelah itu, tidak hanya disunnahkan puasa pada tanggal 10 tapi juga tanggal 9 Muharram. Sayang, sebelum datang tahun berikutnya Rasulullah telah wafat. Al-Hafidz Ibnu Hajar mengatakan keinginan beliau untuk berpuasa pada tanggal 9 dimaksudkan agar tidak persis seperti yang dilakukan oleh umat pada masa Nabi sebelumya, yakni Yahudi dan Nashrani. (Fathul Bari 4: 245) Soal kemiripan dengan puasa umat yahudi ini diriwayatkan bahwa ketika tiba di Madinah, Rasulullah melihat orang-orang Yahudi di sana juga berpuasa pada hari ‘Asyura. Beliau bertanya: “Puasa apa ini?” Mereka menjawab: “Sebuah hari yang baik, ini adalah hari dimana Allah menyelamatkan Bani Israil dari musuh mereka, maka Musa berpuasa pada hari itu sebagai wujud syukur.” Maka beliau bersabda: “Aku lebih berhak terhadap Musa daripada kalian (Yahudi), maka kami akan berpuasa pada hari itu sebagai bentuk pengagungan kami terhadap hari itu.” (HR Bukhari) Jauh-jauh hari setelah Rasul wafat, hari ‘Asyura’ dijadikan oleh kelompok Syi’ah, yakni kelompok yang sangat mengagungkan Sayyidina Ali dan keluarganya, sebagai hari berkabung, duka cita, dan menyiksa diri sebagai ungkapan dari kesedihan dan penyesalan. Kebetulan Sayyidina Hussein terbunuh pada hari itu juga di Padang Karbala. Pada setiap hari ‘Asyura, kelompok Syiah memperingati kematian Husen dengan cara berkumpul, menangis, meratapinya secara histeris, membentuk kelompok-kelompok untuk pawai berkeliling di jalan-jalan dan di pasar-pasar sambil memukuli badan mereka dengan rantai besi dan belati, melukai kepala dengan pedang, mengikat tangan dan lain sebagainya. Sebagai tandingan dari apa yang dilakukan oleh orang Syi’ah di atas, orang kelompok umat Islam yang lain menjadikan hari Asyura’ sebagai hari raya, pesta dan serba ria. Dua budaya yang sangat kontras ini terutama berlangsung pada jaman dinasti Buwaihi (321H-447 H.). Pada masa itu terkenal adanya pertentangan antara Sunni dan Syi’ah dengan tajamnya. Karena itu, sedianya, hari ‘Asyura diisi dengan ibadah puasa saja sebagaimana telah dianjurkan oleh Nabi Muhammad SAW. Tentang keutamaan puasa ‘Asyura Ibnu Abbas menyatakan: “Saya tidak pernah melihat Rasulullah berpuasa pada suatu hari karena ingin mengejar keutamaannya selain hari ini (‘Asyura) dan tidak pada suatu bulan selain bulan ini (maksudnya: bulan Ramadhan).” (HR. Al-Bukhari.) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menganjurkan pada hari Tasu’a dan ‘Asura ini umat Islam di Indonesia juga memperbanyak istigfar (atau membaca astaghfirullahal adzim) meminta ampun kepada Allah dan membaca hauqolah (la haula wala quwwata illa billahil ‘aliyyil adzim) sebagai bentuk pengakuan bahwa tiada daya dan kekuatan kecuali dengan izin Allah. Semoga Allah SAW menurunkan rahmat-Nya dan menghilangkan segala bencana. (Anam) sumber artikel. (nu. or. id & khusus-doa. blogspot) 5/5 - (1 vote)
16 Mei 2018
Hikmah
Sebagai mana kita ketahui setelah Islamnya Umar Bin Khatab, ia dikenal sebagai orang terdepan yang selalu membela Nabi Muhammad SAW dan ajaran Islam pada setiap kesempatan yang ada bahkan ia tanpa ragu menentang kawan-kawan lamanya yang dulu bersama mereka ia ikut menyiksa para pengikutnya Nabi Muhammad SAW. Umar diangkat menjadi Khalifah setelah mengantikan Khalifah pertama Abu Bakar AS-Siddiq. Dia adalah khalifah yang disayangi oleh Umat. Dia dikenal sebagai pemimpin yang adil dan penyayang kepada umat. Dia juga pemimpin pelindung pada kaum minoritas. Dalam suatu riwayat dikisahkan di masa kepemimpinan beliau, Mesir dipimpin oleh seorang Gubernur yang kehidupannya sangat kaya bagaikan kaisar. Ia bernama Amr bin Ash. Saat itu sang gubernur ingin membangun sebuah masjid di samping istananya yang megah, tetapi di wilayah akan dibangunnya masjid, ada gubuk reyot milik seorang yahudi. Gubernur Amr bin ‘Ash lalu memanggil orang Yahudi itu dan meminta agar dia mau menjual gubuknya. Akan tetapi orang Yahudi itu tidak berniat untuk menjualnya. Kemudian gubernur Amr bin ‘Ash memberikan penawaran yang cukup tinggi dengan harga lima belas kali lipat dari harga pasaran, tetapi tetap saja orang Yahudi itu menolak untuk menjualnya. Gubernur Amr bin ‘Ash kesal dan akhirnya karena berbagai cara telah dilakukan dan hasilnya buntu, maka sang gubernur pun menggunakan kekuasaannya dengan memerintahkan bawahannya untuk menyiapkan surat pembongkaran dan akan menggusur paksa lahan tersebut. Sementara si Yahudi tua itu tidak bisa berbuat apa-apa selain menangis dan kemudian dia berniat untuk mengadukan kesewenang-wenangan gubernur Mesir itu pada Khalifah Umar bin Khattab. Di sepanjang jalan menuju Madinah, Yahudi itu berpikir bagaimana sosok sang khalifah, apakah ia sama sikapnya dengan sang gubernur. Hingga akhirnya ia sampai di kota Madinah. Ia bertemu dengan seorang pria yang duduk di bawah pohon kurma. Ia bertanya, “ Wahai tuan, tahukah anda dimana khalifah?” Lelaki itu menjawab, “Ada apa kau mencarinya?” “Aku ingin mengadukan sesuatu.” Jawabnya. Ia bertanya lagi, “Dimanakah istananya?”. “Ada diatas lumpur.”jawab lelaki itu. Yahudi itu bingung atas jawabannya kemudian ia bertanya lagi, “Lalu, siapa pengawalnya?” “Pengawalnya orang-orang miskin, anak yatim dan janda-janda tua.”. Yahudi itu bertanya lagi, “Lalu pakaian kebesarannya apa?”. “Pakaian kebesarannya adalah malu dan taqwa.” Yahudi itu bertanya lagi,”Dimana ia sekarang?” Lelaki itu menjawab, “Ada di depan engkau.” Sungguh kaget Yahudi itu. Ternyata yang sejak tadi ia tanya adalah seorang Khalifah, ia ceritakan segala apa yang dilakukan oleh Gubernur Mesir padanya. Laporan tersebut membuat Khalifah Umar bin Khattab marah dan wajahnya menjadi merah padam. Setelah amarahnya mereda, kemudian orang Yahudi itu diminta untuk mengambil tulang belikat unta dari tempat sampah, lalu diserahkannya tulang itu kepada Khalifah Umar bin Khattab. Khalifah Umar bin Khattab kemudian menggores tulang tersebut dengan huruf alif yang lurus dari atas ke bawah dan di tengah goresan itu ada lagi goresan melintang menggunakan ujung pedang, lalu tulang itu pun diserahkan kembali kepada orang Yahudi tersebut sambil berpesan: “Bawalah tulang ini baik-baik ke Mesir dan berikanlah kepada Gubernur Amr bin ‘Ash”, jelas Khalifah Umar bin Khattab. Si Yahudi itu kebingungan ketika diminta untuk membawa tulang yang telah digores dan memberikannya kepada Gubernur Amr bin ‘Ash. Gubernur Amr bin ‘Ash yang menerima tulang tersebut, langsung tubuhnya menggigil kedinginan serta wajahnya pucat pasi. Saat itu juga Gubernur Amr bin ‘Ash mengumpulkan rakyatnya untuk membongkar kembali masjid yang sedang dibangun dan membangun kembali gubuk yang reyot milik orang Yahudi itu. “Bongkar masjid itu!”, teriak Gubernur Amr bin Ash gemetar. Orang Yahudi itu merasa heran dan tidak mengerti tingkah laku Gubernur. “Tunggu!” teriak orang Yahudi itu. “Maaf Tuan, tolong jelaskan perkara pelik ini. Berasal dari apakah tulang itu? Apa keistimewaan tulang itu, sehingga Tuan berani memutuskan untuk membongkar begitu saja bangunan yang amat mahal ini. Sungguh saya tidak mengerti!”, kata orang Yahudi itu lagi. Gubernur Amr bin Ash memegang pundak orang Yahudi itu sambil berkata: “Wahai kakek, tulang ini hanyalah tulang biasa dan baunya pun busuk.” “Mengapa ini bisa terjadi. Aku hanya mencari keadilan di Madinah dan hanya mendapat sebongkah tulang yang busuk. Mengapa dari benda busuk tersebut itu gubernur menjadi ketakutan?” kata orang Yahudi itu. “Tulang ini merupakan peringatan keras terhadap diriku dan tulang ini merupakan ancaman dari Khalifah Umar bin Khattab. Artinya, “Apa pun pangkat dan kekuasaanmu suatu saat kamu akan bernasib sama seperti tulang ini, karena itu bertindak adillah kamu seperti huruf alif yang lurus. Adil di atas dan adil di bawah. Sebab kalau kamu tidak bertindak adil dan lurus seperti goresan tulang ini, maka Khalifah tidak segan-segan untuk memenggal kepala saya”, jelas Gubernur Amr bin ‘Ash. Orang Yahudi itu tunduk terharu dan terkesan dengan keadilan dalam Islam. “Sungguh agung ajaran agama Tuan. Sungguh aku rela menyerahkan tanah dan gubuk itu. Bimbinglah aku dalam memahami ajaran Islam!”. Yahudi itu mengucapkan syahadat dan ia mengikhlaskan gubuknya sebagai area masjid. Itulah Khalifah Umar, seorang Yahudi masuk islam berkat keadilan dari Umar. Sumber: akhwatmuslimah.com 3.8/5 - (6 votes)
27 Agustus 2017
Fiqih Kontemporer
Kita adalah makhluk sosial yang hidup bermasyarakat. Salah satu konsekwensinya adalah saling bermuamalah satu sama lain dengan cara yg baik dan tidak berseteru dengan agama. Mengenai suara wanita, para ulama memang berbeda pendapat mengenai hukumnya. Namun, jumhur (mayoritas ulama) berpendapat bahwa suara wanita bukanlah aurat. Hadist yang berbunyi shautul marah aurah(suara wanita adalah aurat) bukanlah hadits shahih, sebagian berpendapat hadits ini dhaif (lemah) dan sebagian yang lain bahkan mengatakannya sebagai hadits maudu (palsu). Dahulu kala, Ummul Mukminin Aisyah RA, beliau dalam meriwayatkan hadist tidak menuliskannya dalam bentuk tulisan, namun menyampaikannya langsung secara lisan kepada para shahabat Rasulullah SAW. Padahal sebagaimana kita tahu, beliau adalah seorang wanita ahli syariah yang sangat sering meriwayatkan hadits. Beliau termasuk dalam 4 perawi yang paling banyak meriwayatkan hadits, setelah Abu Hurairah, Anas Ibn Malik, dan Ibnu Umar. Bahkan, Rasulullah SAW sendiripun meluangkan satu hari khusus untuk mengajarkan secara langsung ilmu-ilmu agama Islam kepada para wanita muslimah saat itu, tanpa perantara istri-istri beliau. Beliau SAW secara langsung berdialog secara lisan dengan para wanita yang ingin belajar kepada beliau SAW. Imam Nawawi dalam kitabnya Raudhatu-t-Thalibin menyatakan bahwa pada dasarnya suara wanita bukanlah aurat, akan tetapi hal tersebut bisa berubah hukumnya ketika dalam keadaan ditakutkan adanya fitnah (sesuatu yang dapat mengganggu kekhusyu`an dalam beribadah). Ibrahim al-Marwidzi juga sependapat dengan Imam Nawawi dalam hal ini, beliau menambahkan bahwa wanita hendaknya tidak melantangkan suaranya dalam berbicara. Dalam surat Al-Ahzab ayat 32, Allah SWT berfirman, “Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik.” Yang dimaksud dengan tunduk dalam berbicara disini ialah berbicara dengan sikap yang dapat menimbulkan keberanian orang untuk bertindak yang tidak baik terhadap mereka. Sedangkan yang dimaksud dengan dalam hati mereka ada penyakit ialah: orang yang mempunyai niat berbuat tidak senonoh dengan wanita, seperti zina. Jadi, kita sah-sah saja berbicara secara langsung dengan lawan jenis sejauh tidak membawa dampak negatif. Silakan saja seorang wanita menyampaikan pendapatnya pada kaum adam. Tapi sekali lagi, yang perlu digaris bawahi, hendaknya kita tidak membuat-buat bunyi suara kita ketika berbicara, atau mendesah-desahkannya. Yang demikian untuk menghindari adanya fitnah dan madharat atau efek negatif lainnya. Wallahu a`lam bishowab . Sumber: Rumah Fiqih Indonesia | Oleh: Aini Aryani, Lc 5/5 - (1 vote)
10 Agustus 2017
Figur
Hikmah
KH. Husnan Ketika memasuki kawasan Bondowoso dari arah utara kita akan melewati jalan menanjak yang berliuk-liuk, itulah gunung arak-arak yang merupakan batas teretorial antara kabupaten Bondowoso dan Situbondo, melangkah lebih jauh kearah selatan kurang lebih 5 kilometer kita akan menjumpai desa Wringin yang merupakan tanah kelahiran seorang Ulama yang menjadi icont ”Barokah” mengingat kedudukan yang disandangkan oleh Allah kepadanya disinyalir buah (barokah) dari khidmah (pengabdian) beliau kepada sang guru sewaktu beliau nyantri di Pondok Pesantren Zainul Hasan Genggong Probolinggo, beliau adalah KH. Husnan Bin Muhsin Pengasuh Pondok Pesantren Roi’yatul Husnan. Ahmad Ro’i atau lebih dikenal dengan sebutan Bindhereh Madra’i (bahasa madura) nama kecil Kyai Husnan lahir dari keluarga yang secara finansial serba kekurangan namun demikian beliau adalah pemuda yang sabar dan tegar menerima keadaan. Sebagai putra dari seorang Pengasuh Musholla Ahmad Ro’i merasa perlu membekali dirinya dengan Ilmu agama hal itu terlihat ketika Ahmad Ro’i mulai beranjak dewasa beliau memohon restu kepada ayahandanya untuk mengabdikan hidupnya di Pondok Pesantren Zainul Hasan Genggong guna memperdalam ilmu agama, setelah mendapatkan restu dengan kemantapan hati dan niat yang luhur Ahmad Ro’i berangkat menuju ke Genggong dengan berjalan kaki dalam jarak tempuh sekitar 60 Kilometer dan membawa perbekalan seadanya, beliau menjalani kesehariannya dengan kondisi yang memprihatinkan, akan tetapi beliau tidak pernah menyerah pada keadaan, sepertinya beliau sudah sangat terlatih hidup serba kekurangan, dengan semangat yang berkobar beliau tetap komitmen dan konsisten pada apa yang menjadi niatnya semula yaitu mencari ilmu Allah. Sisi lain dari perjalanan Ahmad Ro’i dalam tholabul ‘ilmi sebagian besar waktunya beliau isi dengan ber-khidmah kepada sang guru, dengan dedikasi yang tinggi Ahmad Ro’i begitu telaten melayani setiap hajat gurunya hingga pada urusan dapur. Al Kisah, Sewaktu Kyai Moh Hasan Genggong menceritakan kepada para santri bahwa cincin Ibu Nyai jatuh ke dalam kubangan WC, tanpa di perintah siapapun Ahmad Ro’i menyelinap ke arah kubangan WC dimaksud, Khaddam itu langsung turun kedalam kubangan sembari mencari cincin dengan tangan telanjang, dalam waktu yang cukup lama akhirnya Ahmad Ro’i menemukan cincin Ibu Nyai dan menyerahkannya kembali kepada Kiyai Moh Hasan setelah cincin itu dibersihkan. Masih banyak kisah-kisah lain mengenai ihwal positif Ahmad Ro’i selama mengabdi di Genggong yang tidak mungkin kami tuliskan dalam profil singkat ini. itulah Ahmad Ro’i sepertinya beliau memang dilahirkan sebagai ibroh dan uswah hasanah (pelajaran positif dan suri tauladan) bagi setiap santri pada generasi berikutnya. Setelah selesai nyantri di Genggong beliau kembali tinggal di Wringin membantu ayahandanya menebarkan ilmu di jalan Allah. Surau sederhana di depan kediamannya menjadi tempat beliau bersama ayahandanya mengajarkan ilmu agama kepada para santri. Hingga kemudian setelah ayahandanya wafat, beliaulah yang meneruskan perjuangan ayahandanya. Lambat laun para santri mulai banyak berdatangan dari segala penjuru guna nyantri kepada Kiyai Husnan hingga dirasa perlu beliau kemudian membangun asrama bagi para santri. Mulailah Kyai Husnan di kenal oleh masyarakat sebagai pengasuh Pondok Pesantren (pada saat itu orang menyebutnya “Pesantren Kiyai Husnan”), Dengan metode salaf beliau mengembangkan pendidikan di Pesantren yang di asuhnya, seperti membaca Al-Qur’an bersama para santri setiap kali selesai Sholat Subuh, mengajar kitab kuning setiap selesai Sholat Maghrib, di samping itu beliau sangat menekankan Sholat berjemaah kepada para santri hingga apabila terdapat santri yang meninggalkan sholat berjamaah tanpa alasan yang jelas beliau tidak segan-segan men-ta’zir-nya. Begitulah Kiyai Husnan, dengan istiqomah dan tidak kenal lelah beliau ngemongi santri-santrinya, beliau menyadari bahwa pengasuh itu hakikatnya adalah pelayan bagi santri-santrinya sebagaimana peminpin hakikatnya pelayan bagi rakyatnya. Pada periode selanjutnya setelah Kiyai Husnan wafat (Tahun 1985) kepemimpinan Pesantren dilanjutkan oleh putra-putri Kiyai Husnan secara kolektif, di antaranya : Pengasuh I. KH Husnan Mutawakkil Ridlwan. Pengasuh II. Ny Hj A’isyah (istri dari KH Ahmad Asy’ari) Pengasuh III. KH Adullah Hafidz. (Alm) Pengasuh IV. KH Saiful Haq. (Alm) Pengasuh V. KH Mukhlishul A’mal. Pengasuh VI. KH Manshur ‘Ainul Yaqin. Pengasuh VII. Ny Hj Sofiyah (istri dari KH Ubaidillah N.Ch) Pengasuh VII. KH Muhammad Mahfudh. Karena dipandang perlu pertama kali putra-putri Kiyai Husnan berinisiatif untuk memberikan nama pada Pesantren peninggalan Kiyai Husnan dengan nama “Roi’yatul Husnan” diambil dari nama kecil Kiyai Husnan yaitu “Ro’i” dan nama putra pertamanya yaitu “Husnan”. Menyadari bahwa zaman menuntut santri tidak hanya paham ilmu agama saja melainkan juga harus menguasai ilmu umum, di bentuklah pendidikan Madrasah Ibtidaiyah (MI) yang tetap lebih menekankan pada pendidikan agama, pada awalnya Madrasah Ibtidaiyah ini merupakan Madrasah cabang Pondok Pesantren Zainul Hasan Genggong dan nama MI “Kholafiyah Syafi’iyah” adalah pemberian dari Kiyai Hasan Saifouridzall yang Alhamdulillah hingga sekarang tetap terabadikan. Inilah fase transisi dimana putra-putri Kiyai Husnan yang sebelumnya terbiasa berdiri di posisi “kanan” (salaf) harus bergeser sedikit ke posisi “tengah” antara Qodimish sholih dan Jadidil Ashlah (antara pendidikan salaf dan pendidikan umum/modern). Dengan tertatih-tatih Madrasah Ibtidaiyah dijalankan sandungan kerikil-kerikil tajam menjadi hikmah tersendiri dalam proses kematangan lembaga ini hingga ahirnya pada saat MI sudah menemukan jati dirinya barulah jajaran Pengasuh merasa perlu untuk mengembangkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi yaitu Madrasah Tsanawiyah (MTs) dan Sekolah Menengah Atas Islam (SMAI) mengingat mayoritas santri yang mondok di Pesantren Ro’iyatul Husnan sebelumnya sudah selesai menempuh pendidikan MI/SD dan MTs/SMP sewaktu di kampung halamannya. Siswa-siswi lembaga pendidikan yang bernaung di bawah Yayasan Pondok Pesantren Ro’iyatul Husnan pada awalnya murni dari para santri yang bermukim di Pondok Pesantren akan tetapi pada perkembangan selanjutnya siswa-siswi yang ada juga input dari putra-putri masyarakat sekitar Pesantren, hal itu semakin menambah pesatnya kemajuan pendidikan tentunya dibarengi dengan pembenahan dan peningkatan kusalitas pendidikan dan sumber daya pengajarnya, sehingga pesantren Ro’iyatul Husnan tidak hanya besar secara kuantitas tapi juga mumpuni dalam kualitas. Sepertinya pencapaian semua itu merupakan buah dari haliyah Kiyai Husnan ketika beliau nyantri di Pondok Pesantren Zainul Hasan Genggong yang ditopang oleh do’a kedua orang tua beliau, hingga dapat di tarik benang merah bahwa Ilmu dan Barokah itu sejatinya berbanding lurus. Wallahu A’lam Bish Shawab. (MG) 4.4/5 - (15 votes)