2 Februari 2024
Figur
Pengumuman
Tegas namun penyayang, tentu dua sifat yang terkadang sulit dikumpulkan jadi satu. Namun tidak untuk Bunyai En, beliau mampu mengumpulkan keduanya serta menerapkannya pada santri-santrinya. Menyatunya dua sikap ini menjadikan para santriwati dianggap seperti anak sendiri; dididik, diperhatikan dan disayang. Meski terkadang dengan jalan tegas, namun itulah wujud sayang, bagaikan seorang ibu yang tak mau anaknya di jalan yang salah. Meladeni santri sebanyak ribuan juga beliau jalani dengan sabar. Setiap tahun, 2 hari pra Haflatul Imtihan, beliau rutin mengunjungi setiap kamar santri dan tak lupa diajak foto, satu persatu santri beliau peluk seakan ibu terhadap anak. Selanjutnya baca di Majalah Genggong edisi XI 5/5 - (1 vote)
2 Februari 2024
Umum
Umum
Event
Figur
Genggong Nusantara | Ketua umum haflatul imtihan ke 91 PZH Genggong Moh. Daniel Ainul Islam berswafoto dengan Nun Hasan Naufal GENGGONG – Menjelang haflatul imtihan ke-91 yang dihelat bertepatan dengan malam Nifsu Sya’ban (06/03/2023), ashabul bait pesantren memilih santri asal Desa Jrebeng Kidul, Kec. Wonoasih, Kab. Probolinggo sebagai ketua umum. Beliau adalah Ustadz Moh. Daniel Ainul Islam, M.Pd. Pria yang pertama kali mondok pada 2011 lalu ini berhasil mendapatkan kepercayaan dari para muassis pesantren. Bahkan, amanah tersebut sudah diembannya saat pasca perhelatan haflatul imtihan ke-89 atau pada 2020 lalu melalui sistem voting. “Karena berbagai alasan, salah satu shohibul bait melarang saya dan baru disetujui pada tahun ini,” terang staf MA Zainul Hasan 1 Genggong tersebut. Pada haflatul imtihan kali ini, banyak terobosan baru yang diagendakan di bawah kepimpinannya bersama panitia lainnya. Pertama, grand launching logo resmi haflatul imtihan yang nantinya akan ditayangkan secara langsung di kanal youtube PZH Genggong pada Januari ini. Kedua, adanya roundown berbagai acara pra puncak haflatul imtihan. Ketiga, lagu baru yang sebelumnya belum pernah dipublish dan dinyanyikan.“Jadi, dibuat meriah dan beda karena sudah 3 tahun tidak dibuka untuk umum sekaligus ini menuju haflah 1 abad,” ungkapnya. Ustadz yang sudah ikut serta kepanitian haflatul imtihan sejak 2016 ini berharap, kemeriahan ini nantinya bisa membuat santri alumnus, simpatisan, dan muhibbin yang hadir senang. “Dan semoga beliau (muassis pesantren) nantinya senang dengan kinerja kami tim panitia,”harapnya. (kak) Rate this post
2 Februari 2024
Umum
Figur
GENGGONG – Pengasuh PZH Genggong KH. Moh. Mutawakkil Alallah, S.H., S.M., kerap kali melontarkan pantun saat sambutan dalam berbagai kegiatan. Kali ini, pantun beliau bacakan saat menyambut Prabowo Subianto di halaman P5 PZH Genggong, Selasa (02/01/2024). Pantun yang berisi 2 baris tersebut merupakan doa sekaligus harapan dari Kiai Mutawakkil untuk Indonesia. Beliau berharap Indonesia akan semakin maju dan makmur apabila dibawah pimpinan Prabowo Subianto. Seperti diketahui, Prabowo Subianto bersama Gibran Rakabuming Raka merupakan pasangan capres-cawapres nomor urut 02. Berikut pantunnya:Buah pepaya buah mengkudu/beli durian dari mojokertoAyo wujudkan Indonesia maju/dibawah pimpinan Bapak Prabowo Subianto Selain pantun, Prabowo Subianto juga mendapatkan penobatan sebagai Sahabat Santri Indonesia oleh Gus dr. Moh. Haris, putera dari pasangan Kiai Damanhuri dan Ning Sus. Di hadapan Prabowo dan ribuan santri, Gus Haris membacakan amanat yang berisi pesan, harapan, dan doa para santri untuk pemimpin negeri ini. “Santri siap untuk menjadi garda terdepan dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, menegakkan nilai keadilan, dan membangun jembatan antara masa lalu yang agung dengan masa depan yang gemilang. Visi ini sejalan dengan cita-cita Indonesia Maju menuju kilauan Indonesia Emas 2045,” ucap Gus Haris. Prabowo sejak dulu, lanjut beliau, memang dekat dengan para kiai dan santri walaupun Prabowo sendiri tidak pernah menjadi santri. “Pak Prabowo meski bukan tokoh berbasis santri, namun beliau sejak dulu dekat dengan kiai dan santri. Ada kepentingan atau tidak, beliau tetap dengan kalangan santri,” jelasnya. Kak 5/5 - (1 vote)
2 Februari 2024
Umum
Umum
Event
Figur
Taushiyah
Genggong Nusantara | Ust. Yusuf Mansur saat memberikan sambutan di Malam Puncak Haflatul Imtihan ke-91 PZH Genggong, Selasa (07/03) Dalam setiap kehidupan, diperlukan kompetensi yang baik dan sehat demi terwujudnya insan sempurna. Ust. Yusuf Mansur membeberkan cara sederhana untuk mewujudkannya saat memberikan sambutan di Malam Puncak Haflatul Imtihan ke-91 PZH Genggong, Selasa (07/03). Sosok yang bernama lengkap H. Jam’an Nurchotib Mansur, S.H.I., M.E., itu menjelaskan, cara ini memang terlihat sederhana. Namun, diperlukan kesungguhan dan ketetapan hati dalam menjalaninya. “Caranya sederhana, cukup bertakwa kepada Allah, Sang Pemilik Segalanya,” ungkapnya menggelegar. Diapun menceritakan pertemuan antara Nabi Yusuf bin Nabi Ya’kub dengan saudaranya. Saudaranya yang mengira Nabi Yusuf sudah mati bertahun-tahun saat tragedi pembuangan Yusuf kecil ke sumur kaget melihat Yusuf masih hidup tumbuh besar dan menjadi raja sebuah negeri seberang. Seakan kurang puas melihat kenyataan, mereka lantas bertanya kepada Nabi Yusuf As.“Aku Yusuf dan ini saudaraku,” jawabnya termaktub dalam Al-qur’an ayat 90. Oleh karenanya, lanjut Ust. Yusuf, ia berharap seraya mendoakan santri agar selalu bersabar menjalankan aktivitas pondok.“Nabi Yusuf ditaruh di sumur jadi (waliyullah), apalagi santri di pesantren,” ujarnya. (kak) Rate this post
1 Agustus 2019
Figur
Suatu ketika seorang santri sowan ke K.H. Hasyim Zaini ( Pengasuh Ponpes Nurul Jadid-Red) di Paiton, sebelum pulang Kiai Hasyim meminta kepada si santri untuk menyampaikan salam takdzim beliau kepada Kiai Hasan Saifouridzall (Pengasuh Pesantren Zainul Hasan Genggong Pajarakan-Red). Setelah santri tersebut sampai di depan dalem Kiai Hasan Saifouridzall ternyata beliau memang sudah menanti si santri tersebut seraya dawuh “ada salam ya dari Ra Muhammad Tanjung yang manis (K.H. Moh.Hasyim Zaini), sehat beliau?” “Iya kiai” jawab santri tersebut. Melihat kejadian ini si santri menjadi heran, “Kok beliau berdua seperti sudah janjian ya? Padahal waktu itu masih belum ada HP (handphone).” Setelah beberapa waktu, si santri tersebut sowan lagi ke kediaman K.H. Hasyim Zaini, ternyata sebelum si santri tersebut pulang, K.H. Hasyim Zaini meminta untuk menyampaikan salam takdzimnya lagi. Setelah santri tersebut di depan dalem K.H. Hasan Saifouridzall ternyata beliau sudah menantinya lagi, “ada salam ya dari ra Muhammad Tanjung yang manis, sehat beliau?” Iya Kiai, jawab si santri tersebut. Santri tadi semakin terheran heran lagi, ini sudah yang kedua kalinya beliau begini. Si santri semakin yakin bahwa beliau berdua bukan orang sembarangan. Pasti punya kedudukan mulia disisi Allah. Kejadian ini berulang hingga 12 kali. Anehnya, ketika yang ke 12 kalinya ini, K.H. Hasan Saifouridzall tidak berada di depan dalem, ternyata beliau berada di dalemnya, jadi untuk menyampaikan salam dari Kiai Hasyim si santri harus menunggu lama baru Kiai Hasan Saifouridzall keluar menemui, “oh ada salam ya, sehat Kiai hasyim?” Tanya beliau dengan ekspresi yang berbeda dari sebelum sebelumnya. “Iya Kiai ” jawab santri tersebut. Si santri masih saja heran dengan sikap beda Kiai Hasan Saifouridzall, ternyata tak lama setelah itu, K.H. Hasyim Zaini wafat meninggal dunia. Mungkin ini kata si santri penyebab K.H. Hasan Saifouridzall berbeda dari yang sebelum sebelumnya. Waktu K.H. Moh. Hasyim Zaini wafat, K.H. Hasan Saifouridzall menangis dan merasa sangat kehilangan. K.H. Hasan Saifouridzall memanggil K.H. Hasyim Zaini dengan sebutan si manis karena akhlaq beliau begitu luar biasa kepada apapun dan siapapun. Subhanallah, begitulah kerinduan dua orang saudara di jalan Allah (Ikhwan Fillah). Semoga Allah mengampuni dosa dosanya, dan diberi maqom yang tinggi di sisiNya. *Santri tersebut adalah Ust. Bashori Afnani, Tarokan Lor, Banyuanyar. Sumber : Akun Facebook ; Matan Universitas Nurul Jadid Unggah Ulang : Mohammad Hendra Pengumuman : Hari ini, Kamis Malam Jum’at, 01 Dzilhijjah 1440 H / 01 Agustus 2019 M, Jam 18.00 Wib -Selesai, Tempat Masjid Jami’ Al Barokah Pesantren Zainul Hasan Genggong akan dilaksanakan haul Al marhum K.H. Hasan Saifouridzall bin K.H. Moh. Hasan. 4.5/5 - (2 votes)
27 Agustus 2017
Umum
Figur
GENGGONG– DR. Habib Syekh Muhammad bin Ismail Al-Yamani Al-Makki bersama rombongan bersilaturahmi ke Pesantren Zainul Hasan Genggong, Desa Karangbong, Kecamatan Pajarakan, Kabupaten Probolinggo. Rabu (19/7/2017), ulama bermadzhab Syafi’iyah ini sempat mendoakan santri Pesantren Zainul Hasan mendapatkan ilmu yang bermanfaat dan barokah. Sebelumnya, kabar kedatangan Syekh Ismail disampaikan langsung oleh Pengasuh Pesantren Zainul Hasan Genggong, Nyai Hj. Diana Susilowati. Sejak sekitar pukul 11.00 WIB, Ning Sus -panggilan akrab Nyai Hj. Diana Susilowati- meminta santri untuk menyambut Syekh Ismail. Sesuai arahan Ning Sus, santri putri berjejer rapi di kanan-kiri dari pintu utama pesantren sampai depan Masjid Al Barokah Genggong. Sedangkan, santri putra diminta berkumpul di masjid bagian utara. “Santri itu harus memuliakan tamu,” ujar Ning Sus, saat memberikan arahan pada santri. Sekitar pukul 12.15 WIB, Syekh Ismail bersama rombongan tiba di Pesantren Zainul Hasan. Syekh yang menjadi guru dari banyak kiai di Indonesia, ini langsung menuju masjid. Di sana, beliau melaksanakan salat berjamaah bersama santri dan seluruh hadirin. Termasuk, para guru di lingkungan Pesantren Zainul Hasan dan sejumlah tetangga sekitar pesantren. Usai salat berjamaah, Syekh Ismail memimpin pembacaan tahlil dan doa bersama. Dalam doanya, Syekh Ismail berharap Pesantren Zainul Hasan selalu diberkahi Allah SWT. Serta, keluarga besar pesantren selalu mendapat Rahmat Allah SWT, kesehatan, rezeki melimpah, serta kemudahan dalam segala urusan. Tak ketingalan, para santri juga didoakan mendapat ilmu manfaat dan barokah. Dalam lawatannya kali ini tidak ada tausiyah yang disampaikan Syekh Ismail. Seusai tahlilan, Syekh Ismail bersama rombongannya dikawal Pemngasuh Pesantren Zainul Hasan K.H. Moh. Hasan Saiful Islam menuju kediaman Nyai Hj. Diana Susilowati untuk beramah tamah. Dalam penyambutan tamu istimewa ini, tampak sejumlah pengasuh Pesantren Zainul Hasan. Di antaranya, K.H. Moh. Hasan Abdil Bar; K.H. Moh. Hasan Naufal; Non Hassan Ahsan Malik; Non dr. Moh. Harris; Non Moh. Baiduri Faisal, Non Habibi Fillah; dan Non Irsyad Syamsuddin. (mfd) 4.2/5 - (4 votes)
27 Agustus 2017
Umum
Umum
Event
Figur
Taushiyah
KH Moh Hasan Saiful Islam saat memberi sambutan pada acara Haul KH Muhammad Hasan Genggong GENGGONG – Kealiman dan kewalian KH Muhammad Hasan Genggong tak diragukan lagi. Bahkan, pengasuh kedua Pesantren Zainul Hasan Genggong, Kecamatan Pajarakan, Kabupaten Probolinggo, ini juga dikenal sebagai wali kutub. Kiai Hasan Sepuh -sapaan akrab beliau- juga dikenal mempunyai budi pekerti yang sangat tinggi serta welas asih. Tak hanya kepada sesama manusia, makhluk lain seperti binatang juga sering merasakan kemuliaan akhlak dan kasih sayang Kiai Hasan Sepuh. Banyak kisah yang umum di masyarakat tentang kasih sayang dan akhlak Kiai Hasan Sepuh. Salah satunya, ketika Kiai Hasan Sepuh bepergian ke suatu daerah, Beliau mendapati ada semut angkrang di bajunya. Mendapati itu, Kiai Hasan Sepuh meminta kusir delmannya berhenti. Kiai Hasan Sepuh berpikir sejenak dimana kira-kira semut itu bisa menempel dibajunya. Setelah berpikir sejenak, Kiai Hasan Sepuh meminta kusirnya mengembalikan semut itu ke tempatnya semula. Yakni, tempat di mana mereka berhenti sebelumnya. Ternyata, jarak tempat itu sekitar 3 kilometer dari tempat Kiai Hasan Sepuh berada. Alasannya sederhana, khawatir sanak keluarga dari semut itu kebingungan. Itu kepada binatang. Kepada manusia, jelas lebih. Bahkan, menurut Pengasuh Pesantren Zainul Hasan Genggong KH Moh Hasan Saiful Islam, Kiai Hasan Sepuh melarang menyebut orang di luar Islam sebagai kafir. Suatu ketika, Kiai Hasan Sepuh mendengar seorang da’i yang menyatakan Belanda yang menjajah Indonesia semuanya kafir. Mendengar hal itu, Kiai Hasan Sepuh langsung menegurnya. Namun tetap dengan lembut. “Jangan bilang kafir Nak. Tapi, kuffar, biar lebih lembut,” ujar Kiai Saiful Islam menirukan ucapan Almarhum Kiai Hasan Sepuh ketika memberikan sambutan dalam acara Haul KH Muhammad Hasan ke 62 di Pesantren Zainul Hasan Genggong, Rabu (5/7/2017). (pin) 4.3/5 - (15 votes)
10 Agustus 2017
Figur
Hikmah
KH. Husnan Ketika memasuki kawasan Bondowoso dari arah utara kita akan melewati jalan menanjak yang berliuk-liuk, itulah gunung arak-arak yang merupakan batas teretorial antara kabupaten Bondowoso dan Situbondo, melangkah lebih jauh kearah selatan kurang lebih 5 kilometer kita akan menjumpai desa Wringin yang merupakan tanah kelahiran seorang Ulama yang menjadi icont ”Barokah” mengingat kedudukan yang disandangkan oleh Allah kepadanya disinyalir buah (barokah) dari khidmah (pengabdian) beliau kepada sang guru sewaktu beliau nyantri di Pondok Pesantren Zainul Hasan Genggong Probolinggo, beliau adalah KH. Husnan Bin Muhsin Pengasuh Pondok Pesantren Roi’yatul Husnan. Ahmad Ro’i atau lebih dikenal dengan sebutan Bindhereh Madra’i (bahasa madura) nama kecil Kyai Husnan lahir dari keluarga yang secara finansial serba kekurangan namun demikian beliau adalah pemuda yang sabar dan tegar menerima keadaan. Sebagai putra dari seorang Pengasuh Musholla Ahmad Ro’i merasa perlu membekali dirinya dengan Ilmu agama hal itu terlihat ketika Ahmad Ro’i mulai beranjak dewasa beliau memohon restu kepada ayahandanya untuk mengabdikan hidupnya di Pondok Pesantren Zainul Hasan Genggong guna memperdalam ilmu agama, setelah mendapatkan restu dengan kemantapan hati dan niat yang luhur Ahmad Ro’i berangkat menuju ke Genggong dengan berjalan kaki dalam jarak tempuh sekitar 60 Kilometer dan membawa perbekalan seadanya, beliau menjalani kesehariannya dengan kondisi yang memprihatinkan, akan tetapi beliau tidak pernah menyerah pada keadaan, sepertinya beliau sudah sangat terlatih hidup serba kekurangan, dengan semangat yang berkobar beliau tetap komitmen dan konsisten pada apa yang menjadi niatnya semula yaitu mencari ilmu Allah. Sisi lain dari perjalanan Ahmad Ro’i dalam tholabul ‘ilmi sebagian besar waktunya beliau isi dengan ber-khidmah kepada sang guru, dengan dedikasi yang tinggi Ahmad Ro’i begitu telaten melayani setiap hajat gurunya hingga pada urusan dapur. Al Kisah, Sewaktu Kyai Moh Hasan Genggong menceritakan kepada para santri bahwa cincin Ibu Nyai jatuh ke dalam kubangan WC, tanpa di perintah siapapun Ahmad Ro’i menyelinap ke arah kubangan WC dimaksud, Khaddam itu langsung turun kedalam kubangan sembari mencari cincin dengan tangan telanjang, dalam waktu yang cukup lama akhirnya Ahmad Ro’i menemukan cincin Ibu Nyai dan menyerahkannya kembali kepada Kiyai Moh Hasan setelah cincin itu dibersihkan. Masih banyak kisah-kisah lain mengenai ihwal positif Ahmad Ro’i selama mengabdi di Genggong yang tidak mungkin kami tuliskan dalam profil singkat ini. itulah Ahmad Ro’i sepertinya beliau memang dilahirkan sebagai ibroh dan uswah hasanah (pelajaran positif dan suri tauladan) bagi setiap santri pada generasi berikutnya. Setelah selesai nyantri di Genggong beliau kembali tinggal di Wringin membantu ayahandanya menebarkan ilmu di jalan Allah. Surau sederhana di depan kediamannya menjadi tempat beliau bersama ayahandanya mengajarkan ilmu agama kepada para santri. Hingga kemudian setelah ayahandanya wafat, beliaulah yang meneruskan perjuangan ayahandanya. Lambat laun para santri mulai banyak berdatangan dari segala penjuru guna nyantri kepada Kiyai Husnan hingga dirasa perlu beliau kemudian membangun asrama bagi para santri. Mulailah Kyai Husnan di kenal oleh masyarakat sebagai pengasuh Pondok Pesantren (pada saat itu orang menyebutnya “Pesantren Kiyai Husnan”), Dengan metode salaf beliau mengembangkan pendidikan di Pesantren yang di asuhnya, seperti membaca Al-Qur’an bersama para santri setiap kali selesai Sholat Subuh, mengajar kitab kuning setiap selesai Sholat Maghrib, di samping itu beliau sangat menekankan Sholat berjemaah kepada para santri hingga apabila terdapat santri yang meninggalkan sholat berjamaah tanpa alasan yang jelas beliau tidak segan-segan men-ta’zir-nya. Begitulah Kiyai Husnan, dengan istiqomah dan tidak kenal lelah beliau ngemongi santri-santrinya, beliau menyadari bahwa pengasuh itu hakikatnya adalah pelayan bagi santri-santrinya sebagaimana peminpin hakikatnya pelayan bagi rakyatnya. Pada periode selanjutnya setelah Kiyai Husnan wafat (Tahun 1985) kepemimpinan Pesantren dilanjutkan oleh putra-putri Kiyai Husnan secara kolektif, di antaranya : Pengasuh I. KH Husnan Mutawakkil Ridlwan. Pengasuh II. Ny Hj A’isyah (istri dari KH Ahmad Asy’ari) Pengasuh III. KH Adullah Hafidz. (Alm) Pengasuh IV. KH Saiful Haq. (Alm) Pengasuh V. KH Mukhlishul A’mal. Pengasuh VI. KH Manshur ‘Ainul Yaqin. Pengasuh VII. Ny Hj Sofiyah (istri dari KH Ubaidillah N.Ch) Pengasuh VII. KH Muhammad Mahfudh. Karena dipandang perlu pertama kali putra-putri Kiyai Husnan berinisiatif untuk memberikan nama pada Pesantren peninggalan Kiyai Husnan dengan nama “Roi’yatul Husnan” diambil dari nama kecil Kiyai Husnan yaitu “Ro’i” dan nama putra pertamanya yaitu “Husnan”. Menyadari bahwa zaman menuntut santri tidak hanya paham ilmu agama saja melainkan juga harus menguasai ilmu umum, di bentuklah pendidikan Madrasah Ibtidaiyah (MI) yang tetap lebih menekankan pada pendidikan agama, pada awalnya Madrasah Ibtidaiyah ini merupakan Madrasah cabang Pondok Pesantren Zainul Hasan Genggong dan nama MI “Kholafiyah Syafi’iyah” adalah pemberian dari Kiyai Hasan Saifouridzall yang Alhamdulillah hingga sekarang tetap terabadikan. Inilah fase transisi dimana putra-putri Kiyai Husnan yang sebelumnya terbiasa berdiri di posisi “kanan” (salaf) harus bergeser sedikit ke posisi “tengah” antara Qodimish sholih dan Jadidil Ashlah (antara pendidikan salaf dan pendidikan umum/modern). Dengan tertatih-tatih Madrasah Ibtidaiyah dijalankan sandungan kerikil-kerikil tajam menjadi hikmah tersendiri dalam proses kematangan lembaga ini hingga ahirnya pada saat MI sudah menemukan jati dirinya barulah jajaran Pengasuh merasa perlu untuk mengembangkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi yaitu Madrasah Tsanawiyah (MTs) dan Sekolah Menengah Atas Islam (SMAI) mengingat mayoritas santri yang mondok di Pesantren Ro’iyatul Husnan sebelumnya sudah selesai menempuh pendidikan MI/SD dan MTs/SMP sewaktu di kampung halamannya. Siswa-siswi lembaga pendidikan yang bernaung di bawah Yayasan Pondok Pesantren Ro’iyatul Husnan pada awalnya murni dari para santri yang bermukim di Pondok Pesantren akan tetapi pada perkembangan selanjutnya siswa-siswi yang ada juga input dari putra-putri masyarakat sekitar Pesantren, hal itu semakin menambah pesatnya kemajuan pendidikan tentunya dibarengi dengan pembenahan dan peningkatan kusalitas pendidikan dan sumber daya pengajarnya, sehingga pesantren Ro’iyatul Husnan tidak hanya besar secara kuantitas tapi juga mumpuni dalam kualitas. Sepertinya pencapaian semua itu merupakan buah dari haliyah Kiyai Husnan ketika beliau nyantri di Pondok Pesantren Zainul Hasan Genggong yang ditopang oleh do’a kedua orang tua beliau, hingga dapat di tarik benang merah bahwa Ilmu dan Barokah itu sejatinya berbanding lurus. Wallahu A’lam Bish Shawab. (MG) 4.4/5 - (15 votes)
5 Juli 2017
Umum
Umum
Figur
Hikmah
Taushiyah
BAGI kalangan masyarakat Jawa Timur, sosok K.H. Moh. Hasan Genggong, Kecamatan Pajarakan, Kabupaten Prooblinggo, tentulah tidak asing. Pria yang memiliki nama lahir Muhammad Hasan, tersebut dikenal sebagai tokoh spiritual, ulama besar, serta pendiri pesantren besar yang zuhud, ringan tangan, dan memiliki empati tinggi terhadap sesama. Kiai Hasan Genggong lahir pada 27 Rajab 1259 Hijriah atau 23 Agustus 1840 Miladiah, bertepatan dengan peringatan Isra Mikraj Nabi Muhammad SAW. Meski terlahir sebagai anak tukang pembuat genting di Desa Sentong, Kecamatan Krejengan, Kabupaten Prooblinggo, tidak serta merta menyurutkan Muhammad Hasan dalam menuntut ilmu. Jejak kesantrian Kiai Hasan Genggong dimulai sejak usia belia sampai dewasa. Dari mondok di sejumlah pesantren di tanah air, berlanjut nyantri ke Makkah dan Madinah. Selepas menuntaskan belajar, Kiai Hasan Genggong diambil menantu oleh Pendiri Pesanten Zainul Haan Genggong K.H Zainul Abidin. Sebuah pesantren yang berdiri sejak 1839 Masehi. Pasca wafatnya sang mertua, Kiai Hasan Genggong mendapat amanat meneruskan titah perjuangan. Di bawah didikan beliau, lahir ulama-ulama besar yang tersebar di mana-mana. Kiai Hasan Genggong mendidik santri di Pesantren Genggong selama 87 Tahun. Di kalangan ulama sepuh Nahdlatul Ulama (NU), Kiai Hasan Genggong senantiasa dijadikan sebagai sosok yang selalu diminta nasihat dan pertimbangan persoalan NU dan umat. Saat proses awal pendirian organisasi NU, almarhum Kiai Hasan Genggong juga diminta pendapat dan nasihat oleh almarhum K.H. Wahab Hasbullah; K.H. As’ad Syamsul Arifin; dan para pendiri NU yang lain atas rekomendasi dari Syaikhona Kholil Bangkalan dan hadratus Syeikh K.H. Hasyim Asy’ari. Kiai Hasan Sepuh yang dikenal sebagai sosok ulama dengan kezuhudannya, selalu menjadi tempat rujukan ketika ulama pendiri NU akan mengambil keputusan. Ketika NU lahir pada 1926 pada saat bumi nusantara masih dicengkeram penjajah Belanda, Kiai Hasan Genggong menjadikan Pesantren Genggong sebagai basis perjuangan kemerdekaan. Sosok Kiai Hasan Genggong memang bermental baja, percaya diri, ditakuti penjajah dan dikenal apa adanya. Segala bujuk rayu dan siasat Belanda tak mampu menembus hati Kiai Hasan Genggong. Suatu ketika, ada seorang ulama yang sowan ke Kiai Hasan Genggong, berniat tabayun mengenai hukum melawan penjajah. Belum sempat pertanyaan diajukan, Kiai Hasan Genggong saat menemui sang tamu itu menggunakan peci hitam dan membawa keris. Mendapati perbuatan yang sangat jarang Kiai Hasan Genggong, itu sang tamu dengan bangga merasa sudah menemukan jawaban tanpa harus mengajukan pertanyaan. Kiai Hasan Genggong pernah menyatakan bahwa berjuang ikhlas di NU akan mendapatkan keselamatan dunia dan akhirat. Insya Allah. “من اعان نهضةالعلماء، فقد سعد فى الدنيا والأخرة” “Barang siapa yang menolong (berjuang ikhlas) NU, maka hidup beruntung di dunia dan di akhirat”. Ketua Tanfidziyah PW NU Jatim K.H Moh. Hasan Mutawakkil Alallah menyatakan, para wali Allah merupakan owner (pemilik) NU. Karena itu, siapa saja yang menjadikan NU sebagai ajang untuk mencari keuntungan pribadi dan mempermainkan Jamiyyah NU, akan dilaknat Allah, Rasul, dan para wali serta muassis NU. Sebagai ormas Islam yang didirikan oleh para ulama besar pada zamannya, NU menjadi medium dakwah Islam ahlussunnah wal jamaah yang senyatanya memang mendapatkan doa, dukungan, dan rida para hamba Allah yang dikenal salih, memiliki kebeningan hati, dan kealiman luar biasa. Kiai Hasan Genggong juga merupakan sosok ulama yang produktif menulis kitab, yang meliputi bidang-bidang fiqih, tauhid, tasawuf, tafsir, dan hadis. Salah satu karyanya kitab Safinatun Najah. Karomahnya tak terhitung, semua orang mendambakan menjadi orang yang bisa diakui sebagai santrinya. Kiai Hasan Genggong wafat Kamis 11 Syawal 1374 Hijriah atau 1 juni 1955 Miladiah, sekitar pukul 23.30 WIB. Beliau waafat pada usia 115 tahun. (susi/yex) 4.4/5 - (9 votes)
5 Juli 2017
Umum
Umum
Figur
Hikmah
KH Moh Hasan Genggong Dikisahkan, terdapat seorang ulama bernama Habib Abdul Qadir bin Quthban Assegaf, seorang alim yang sangat gemar bersilaturrahim. Kegemarannya bersilaturahim bukan hanya terbatas di wilayah Hadramaut, Yaman saja. Tapi juga sampai mancanegara, bahkan ke pulau Jawa Indonesia. Hingga suatu saat, ia berkesempatan silaturahim ke daerah Probolinggo, tepatnya di pesantren yang kala itu masih diasuh oleh KH Mohammad Hasan Sepuh Genggong. Kedatangannya disambut dengan ramah oleh tuan rumah. Lalu terjadilah percakapan antara keduanya. Hingga pada akhirnya Kiai Hasan menanyakan tentang kabar seorang ulama dari Yaman. “Habib, bagaimana kabarnya Habib Ali Habsyi Seiwun (muallif simtuddurar)?” tanya Kiai Hasan. Agak terkejut, Habib Abdul Qadir, mendengar pertanyaan tersebut. Sebab ia tahu, Kiai Hasan belum pernah pergi ke Yaman, dan Habib Ali pun sama belum pernah pergi ke Indonesia. Belum habis rasa terkejutnya, kembali ia mendapat pertanyaan dari Kiai Hasan: “Habib Ali Al Habsyi Seiwun itu kulitnya seperti ini … (menyebutkan), wajahnya begini… (menyebutkan), kalau duduk seperti ini… (disebutkan), jalannya seperti ini… (disebutkan), di kediaman Habib Ali rumahnya seperti ini… (menyebutkan), di depannya ada masjid bernama Masjid Riyadh dan tiangnya ada… (menyebutkan),” papar Kiai Hasan, seolah ia pernah berjumpa langsung dan berkunjung ke kediaman Habib Ali. Lalu setelah cukup berbincang-bincang, tak lama kemudian, Habib Abdul Qadir bin Qithban pun berpamitan pulang. Sekembalinya dari tanah Jawa ke Yaman. Habib Abdul Qadir bin Quthban mengunjungi kota Seiwun, untuk bertemu dengan Habib Ali Al Habsyi. Ketika sudah sampai di kediaman Habib Ali Habsyi dan berhadapan dengan beliau, di tengah-tengah perbincangan, Habib Ali Al Habsyi bertanya. “Wahai Sayyid Abdul Qadir, apakah di Jawa engkau bertemu dengan seorang syekh bernama Hasan Jawi?” tanya Habib Ali. Lalu Habib Ali Al Habsyi berkata: “Syekh Hasan itu kulitnya seperti ini… (menyebutkan), wajahnya seperti ini… (menyebutkan), duduknya begini… (mencontohkan), jalannya seperti ini… (menceritakan), dan di rumahnya begini… (menjelaskan)”. Hingga Habib Abdul Qadir takjub dengan detailnya penjelasan Habib Ali tentang Kiai Hasan seolah keduanya adalah sahabat karib yang akrab. Padahal Habib Ali tidak pernah ke Indonesia. Begitulah, para kekasih Allah, mereka meski tidak pernah bertemu secara lahir, tapi pertautan batin mereka sangatlah erat. Tahun berganti tahun, Habib Ali dan Kiai Hasan telah tiada. Hingga, ketika diadakan peringatan Haul ke-105 Habib Ali Habsyi Seiwun di Kota Solo, salah satu dari cucu Kiai Hasan Sepuh Genggong sowan ke Habib Anis, cucu dari Habib Ali. Saat Habib Anis tahu bahwa yang sowan adalah cucu Kiai Hasan Genggong. Habib Anis tersenyum sambil berkata. “Kakekku dan kakekmu mempunyai ta’aluq batin”. Kisah ini berdasarkan penuturan Habib Muhammad, dari ayahnya Habib Husein, dari ayahnya Habib Anis bin Alwi bin Ali Al-Habsyi. Lahumul al-fatihah. Sumber: www.nu.or.id 4.2/5 - (17 votes)
16 April 2017
Umum
Umum
Figur
Oleh: Syukron Dosi* K.H. Aziz Masyhuri. Nama itu sudah tidak asing lagi bagi kalangan dunia pesantren. Saya secara pribadi mengenal beliau dari Majalah Aula, sejak ayah saya berlangganan Majalah NU Aula (dari edisi pertama sampai wafatnya ayahanda saya). Majalah Aula edisi 80-an dan 90-an hampir setiap edisi majalah itu memuat namanya, baik sebagai penulis maupun tokoh yang diberitakan sebagai narasumber seminar ataupun halaqoh di lingkungan Nahdlatul Ulama. Ayah saya juga mengkoleksi satu set buku Ahkamul Fuqoha (kumpulan hasil bahtsul masail diniyyah dari muktamar ke muktamar yang didokumentasikan Kiai Aziz). Karya tulis lainnya adalah Biografi 99 Kiai, Hasil Muktamar Jamiyah Ahlit Thariqah Mu’tabarah An-Nahdliyah dan sebagainya. Seingat saya, beliau juga pernah menjabat sebagai fungsionaris Lajnah Ta’lif wan Nasyr (Lajnah Penulisan dan Penerbitan) PBNU dan PP Rabithah Ma’ahid islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren) NU. KH Aziz Masyhuri (kanan) bersama KH Yusuf Muhammad (tengah) dan KH Moh Hasan Mutawakkil Alallah Saat beliau menjabat Ketua PP RMI, lewat Mukernas V Rabithah Ma’ahid Islamiyah (RMI) di Pesantren Zainul Hasan, Genggong, Pajarakan, Probolinggo, bersama KH Mutawakkil Alallah memediasi Gus Dur dengan Pemerintah kala itu, Soeharto. Proses islah itu kemudian kita kenal dengan “Salaman Genggong”. Lewat buku beliau, kita bisa memahami bagaimana para muassis NU melakukan kontekstualisasi kitab kuning yang oleh sebagian kalangan justru dianggap sebelah mata. Seperti cerita mbah Wahab saat mengambil rujukan dari literatur Kitab Fath al-Qarib dan syarahnya (al-Baijuri) untuk memberikan petunjuk pada Bung Karno terkait kemelut Irian Barat kala itu. Karena kecintaannya terhadap forum bahtsul masail, Kiai Aziz, sapaan kesehariannya selalu mengikuti dan mendokumentasikan mulai tingkat bawah sampai dengan forum nasional. Bahkan hingga kini banyak karya tulisnya yang menjadi bukti kecintaan kepada organisasi warisan para aulia ini. KH Aziz Masyhuri Jombang, pernah berpesan: “Kita mengagumi ulama dari luar negeri, namun kita kerap tidak menyadari bahwa ulama luar negeri sangat kagum kepada ulama Nusantara.” Bahwa khazanah ulama Nusantara adalah warisan tak ternilai, yang harus kita rawat, jaga dan terus dikaji untuk menjadi solusi peradaban Islam hari ini dan esok. Keluarga besar NU dan langit Pesantren kembali berselimut duka. Kiai Aziz Masyhuri wafat pada Sabtu (15/4) pada usia 75 tahun. Ratusan karya telah lahir dari ketekunan kiai kelahiran Tuban, 17 Juli 1972 ini. Di antaranya, 95 judul buku berbahasa Indonesia, 26 buku berbahasa Arab, 7 buku terjemahan bahasa Jawa (makna gandul) dan buku-buku lainnya. Betapa tidak, kiai yang dikenal sebagai dokumentator akhirnya berpulang. Ya, KH Aziz Masyhuri merupakan kiai yang tekun dalam mendokumentasikan hasil-hasil bahtsul masail dalam sejumlah buku, sehingga keputusan penting tersebut dapat tersebar ke masyarakat dengan mudah. Kiai Aziz merupakan suami dari Nyai Hj Azizah Aziz Bisri Syamsuri. Dari pernikahan ini, Kiai Aziz dikaruniai tiga orang keturunan. Pendidikannya ditempuh di beberapa pesantren dan lembaga pendidikan. Antara lain di Denanyar, Jombang, di Pondok Lasem Jawa Tengah, di Pondok Krapyak Yogyakarta dan sempat belajar di Madinah dan Makkah, Arab Saudi. Sedangkan di Nahdlatul Ulama, Kiai Aziz berkhidmah sejak menjalani masa muda di Tuban. Mulai dari Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU), Lembaga Pendidikan (LP) Ma’arif NU dan Pergunu. Kemudian di tingkat wilayah (provinsi), Kiai Aziz pernah aktif di LP Ma’arif NU Jawa Timur, Lembaga Dakwah, Lembaga Kemaslahatan Keluarga, menjadi Wakil Katib Syuriah PWNU Jatim, wakil rais syuriah dan Ketua Rabithah Ma’ahid Islamiyah (RMI). Sementara di tingkat pusat, Kiai Aziz sempat diberi amanah menjadi A’wan PBNU dan Ketua PP RMI. Selamat jalan kiai Ensiklopedis. Lahul fatihah * Penulis adalah Alumni Ponpes Zainul Hasan Genggong. saat ini aktif di Lembaga Ta’lif wan Nasyr PWNU Jawa Timur 4.1/5 - (7 votes)
1 Agustus 2015
Figur
Sejarah Nahdlatul Ulama oleh KH. Raden As’ad Syamsul Arifin ( Kyai Sepuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo ) 3.7/5 - (7 votes)
29 April 2015
Figur
Hikmah
Alm. KH. Moh. Hasan Genggong Salah satu karomah Al-Marhum waliyullah KH. Moh. Hasan Genggong diceritakan oleh KH. Akhmad Mudzhar, Situbondo. Beliau bercerita bahwa pada suatu hari selepas sholat Jum’at Almarhum KH. Moh. Hasan Genggong (atau yang dikenal dengan kiai sepuh) turun dari Masjid jami’ Al-Barokah Genggong menuju dalem (rumah/kediaman) beliau. Dalam perjalanan antara masjid dan kediamannya, beliau (kiai sepuh) berjalan sambil berteriak mengucap “Innalillah, Innalillah” sambil menghentak-hentakkan tangannya yang kelihatan basah. Pada waktu itu jam menunjukkan jam 13.00. Setelah itu, tepat pada hari Senin pagi, ketika Alm. Kiai sepuh menemui tamunya yang juga terdapat KH. Akhmad Mudzar (salah seorang santrinya dan perawi kisah ini), datang dua orang tamu menghadap kiai sepuh yang merautkan paras kelelahan seakan-akan baru mengalami musibah yang begitu hebat. Tatkala dua orang tersebut bertemu dan melihat wajah almarhum kiai sepuh, terlontarlah ucapan dari salah seorang dari keduanya. “ini orang yang menolong kita tiga hari yang lalu” ujarnya. Bersamaan dengan itu, Alm. Kiai sepuh mengucap kata “Alhamdulillah” sebanyak tiga kali dengan wajah yang berseri. Dari kejadian tersebut membuat heran KH. Mudzhar dan beliau mengambil keputusan untuk bertanya kepada kedua tamu tersebut, sehingga bercerita tamu tersebut: “tiga hari yang lalu, yaitu hari Jum’at kami berdua dan beberapa teman yang lain menaiki perahu menuju Banjarmasin, tiba-tiba perahu oleng akibat angin topan dan perahu kami tak tertolong lagi. Namun kami sempat diselamatkan berkat kehadiran dan pertolongan yang datang dari seorang sepuh yang tidak kami kenal, waktu itu menunjukkan sekitar jam 13.00 atau ba’da Jumat, setelah itu kami sudah tidak sadar lagi apa yang terjadi hingga kami terdampar di tepi pantai Kraksaan (Kalibuntu)”. Lalu (lanjut cerita tamu tersebut) setelah kami sadar, kami merasa sangat gembira dan bersyukur karena masih terselamatkan dari bencana itu. Dan kami ingat bahwa yang menolong kami dari malapetaka tiga hari yang lalu itu adalah orang tua yang nampaknya sangat alim. Hingga hati kami terdorong untuk sowan atau bersilaturrahim kepada kiai yang sepuh yang dekat dengan tempat kami terdampar. Setelah kami bertanya kepada orang-orang yang kami jumpai, “adakah disekitar tempat ini seorang kiai yang sepuh?”. Lalu kami disuruh menuju ke tempat ini (Genggong). Setelah sampai disini ternyata orang yang menolong kami waktu itu adalah orang ini. (bersamaan dengan itu tangan tamu tersebut menunjuk ke arah Alm. KH. Moh. Hasan Genggong. Sumber: buku 150 tahun menebar ilmu di jalan Allah 4/5 - (94 votes)
31 Maret 2015
Umum
Figur
Makam Syaichona Kholil Bangkalan Madura KH Abdul Lathif, warga Desa Kemayoran, Kecamatan Kota, Bangkalan, merasakan kegembiraan karena hari itu, Selasa 11 Jumadil Akhir 1235 H atau 27 Januari 1820 M, dari rahim istrinya lahir seorang anak laki-laki yang sehat, diberi nama Muhammad Kholil, yang kelak akan terkenal dengan nama Mbah Kholil. KH Abdul Lathif sangat berharap anaknya dikemudian hari menjadi pemimpin umat, sebagaimana nenek moyangnya. Mbah Kholil kecil berasal dari keluarga ulama. Ayahnya, KH Abdul Lathif, mempunyai pertalian darah dengan Sunan Gunung Jati. Ayah Abdul Lathif adalah Kiai Hamim, putra dari Kiai Abdul Karim. Yang disebut terakhir putra Kiai Muharram bin Kiai Asror Karomah bin Kiai Abdullah bin Sayyid Sulaiman. Sayyid Sulaiman cucu Sunan Gunung Jati. Maka tak salah kalau KH. Abdul Lathif mendambakan putranya kelak bisa mengikuti jejak Sunan Gunung Jati, karena memang masih terhitung keturunan. Mbah Kholil dididik dengan sangat ketat oleh ayahnya. Mbah Kholil kecil memang menunjukkan bakat yang istimewa, kehausannya akan ilmu, terutama ilmu Fiqh dan nahwu. Bahkan ia sudah hafal dengan baik Nazham Alfiyah Ibnu Malik (seribu bait ilmu Nahwu) sejak usia muda. Untuk memenuhi harapan dan juga kehausannya mengenai ilmu Fiqh dan ilmu yang lainnya, maka orang tua Mbah Kholil kecil mengirimnya ke berbagai pesantren untuk menimba ilmu. Mengawali pengembaraannya, Mbah Kholil muda belajar kepada Kiai Muhammad Nur di Pondok Pesantren Langitan, Tuban, Jawa Timur. Dari Langitan beliau pindah ke Pondok Pesantren Cangaan, Bangil, Pasuruan. Kemudian beliau pindah ke Pondok Pesantren Keboncandi. Selama belajar di Pondok Pesantren ini beliau belajar pula kepada Kiai Nur Hasan yang menetap di Sidogiri, 7 kilometer dari Keboncandi. Kiai Nur Hasan ini, sesungguhnya, masih mempunyai pertalian keluarga dengannya. Jarak antara Keboncandi dan Sidogiri sekitar 7 Kilometer. Tetapi, untuk mendapatkan ilmu, Mbah Kholil muda rela melakoni perjalanan yang terbilang lumayan jauh itu setiap harinya. Di setiap perjalanannya dari Keboncandi ke Sidogiri, ia tak pernah lupa membaca Surat Yasin. Sebenarnya, bisa saja Mbah Kholil muda tinggal di Sidogiri selama nyantri kepada Kyai Nur Hasan, tetapi ada alasan yang cukup kuat bagi dia untuk tetap tinggal di Keboncandi. Mbah Kholil tinggal di Keboncandi agar bisa nyambi menjadi buruh batik. Dari hasil menjadi buruh batik itulah dia memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Sewaktu menjadi Santri Mbah Kholil telah menghafal beberapa matan, seperti Matan Alfiyah Ibnu Malik (Tata Bahasa Arab). Disamping itu beliau juga seorang Hafidz Al-Quran. Beliau mampu membaca Al-Qur’an dalam Qira’at Sab’ah (tujuh cara membaca Al-Quran). Kemandirian Mbah Kholil muda juga nampak ketika ia berkeinginan untuk menimba ilmu ke Makkah. Karena pada masa itu, belajar ke Makkah merupakan cita-cita semua santri. Dan untuk mewujudkan impiannya kali ini, lagi-lagi Mbah Kholil muda tidak menyatakan niatnya kepada orangtuanya, apalagi meminta ongkos kepada orangtua. Kemudian, setelah Mbah Kholil memutar otak untuk mencari jalan keluarnya, akhirnya ia memutuskan untuk pergi ke sebuah pesantren di Banyuwangi. Karena, pengasuh pesantren itu terkenal mempunyai kebun kelapa yang cukup luas. Dan selama nyantri di Banyuwangi ini, Mbah Kholil nyambi menjadi “buruh” pemetik kelapa pada gurunya. Untuk setiap pohonnya, dia mendapat upah 2,5 sen. Uang yang diperolehnya tersebut dia tabung. Sedangkan untuk makan, Mbah Kholil menyiasatinya dengan mengisi bak mandi, mencuci dan melakukan pekerjaan rumah lainnya, serta menjadi juru masak teman-temannya. Dari situlah Mbah Kholil bisa makan gratis. Saat usianya mencapai 24 tahun, Mbah Kholil memutuskan untuk pergi ke Makkah. Tetapi sebelum berangkat, Mbah Kholil menikah dahulu dengan Nyai Asyik, putri Lodra Putih. Setelah menikah, berangkatlah dia ke Mekkah. Dan memang benar, untuk ongkos pelayarannya bisa tertutupi dari hasil tabungannya selama nyantri di Banyuwangi, sedangkan untuk makan selama pelayaran, konon Mbah Kholil berpuasa. Hal tersebut dilakukan Mbah Kholil bukan dalam rangka menghemat uang, akan tetapi untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah, agar perjalanannya selamat. Di Makkah Mbah Kholil belajar dengan Syeikh Nawawi Al-Bantani (Guru Ulama Indonesia dari Banten). Di antara gurunya di Makkah ialah Syeikh Utsman bin Hasan Ad-Dimyathi, Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan, Syeikh Mustafa bin Muhammad Al-Afifi Al-Makki, Syeikh Abdul Hamid bin Mahmud Asy-Syarwani. Beberapa sanad hadits yang musalsal diterima dari Syeikh Nawawi Al-Bantani dan Abdul Ghani bin Subuh bin Ismail Al-Bimawi (Bima, Sumbawa). Sebagai pemuda Jawa (sebutan yang digunakan orang Arab waktu itu untuk menyebut orang Indonesia) pada umumnya, Mbah Kholil belajar pada para Syeikh dari berbagai madzhab yang mengajar di Masjid Al-Haram. Namun kecenderungannya untuk mengikuti Madzhab Syafi’i tak dapat disembunyikan. Karena itu, tak heran kalau kemudian dia lebih banyak mengaji kepada para Syeikh yang bermadzhab Syafi’i. Konon, selama di Makkah, Mbah Kholil lebih banyak makan kulit buah semangka ketimbang makanan lain yang lebih layak. Realitas ini bagi teman-temannya, cukup mengherankan. Kebiasaan memakan kulit buah semangka kemungkinan besar dipengaruhi ajaran ngrowot (vegetarian) dari Al-Ghazali, salah seorang ulama yang dikagumi dan menjadi panutannya. Sewaktu berada di Makkah untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, Mbah Kholil bekerja mengambil upah sebagai penyalin kitab-kitab yang diperlukan oleh para pelajar. Sepulangnya dari Tanah Arab, Mbah Kholil dikenal sebagai seorang ahli Fiqh dan Tarekat. Bahkan pada akhirnya, dia pun dikenal sebagai salah seorang Kiai yang dapat memadukan kedua hal itu dengan serasi. Dia juga dikenal sebagai al-Hafidz (hafal Al-Qur’an 30 Juz). Hingga akhirnya, Mbah Kholil dapat mendirikan sebuah pesantren di daerah Cengkubuan, Bangkalan. Banyak santri yang berdatangan dari desa-desa sekitarnya. Namun, setelah putrinya, Siti Khatimah dinikahkan dengan keponakannya sendiri, yaitu Kiai Muntaha, pesantren di Cengkubuan itu kemudian diserahkan kepada menantunya. Mbah Kholil sendiri mendirikan pesantren lagi di daerah Demangan, pusat kota. Letak Pesantren yang baru itu, hanya selang 1 Kilometer dari Pesantren lama. Di tempat yang baru ini, Mbah Kholil juga cepat memperoleh santri lagi, bukan saja dari daerah sekitar, tetapi juga dari Tanah Seberang, Pulau Jawa. Santri pertama yang datang dari Jawa tercatat bernama Hasyim Asy’ari, dari Jombang. [pullquote-right] Hampir ulama besar di Madura dan Jawa adalah murid Kiai Kholil [/pullquote-right] Di sisi lain, Mbah Kholil disamping dikenal sebagai ahli Fiqh dan ilmu Alat (nahwu dan sharaf), ia juga dikenal sebagai orang yang waskita atau weruh sak durunge winarah (tahu sebelum terjadi). Malahan dalam hal yang terakhir ini, nama Mbah Kholil lebih dikenal. Syekh Kholil wafat pada hari Kamis tanggal 29 Ramadhan 1343 H (1925 M). Jenazah beliau disalatkan di Masjid Agung Bangkalan. Kemudian dimakamkan di Pemakaman Martajasah, Bangkalan. Berikut Sebagian Murid Dari Syaichona Kholil Bangkalan Madura : 1. KH. Hasyim Asy’ari : Pendiri, pengasuh Pondok Pesantren Tebu Ireng Jombang. Beliau juga dikenal sebagai pendiri organisasi Islam Nahdlatul Ulama (NU) Bahkan beliau tercatat sebagai Pahlawan Nasional. 2. KHR. As’ad Syamsul Arifin : Pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah, Sukorejo Asembagus, Situbondo. 3. KH. Wahab Hasbullah: Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Tambak Beras Jombang. Pernah menjabat sebagai Rais Aam NU (1947 – 1971). 4. KH. Bisri Syamsuri: Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Denanyar, Jombang. 5. KH. Maksum: Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Rembang, Jawa Tengah 6. KH. Bisri Mustofa: Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Rembang, Beliau juga dikenal sebagai mufassir Al Quran. Kitab tafsirnya dapat dibaca sampai sekarang, berjudul “Al-Ibriz” sebanyak 3 jilid tebal berhuruf jawa pegon. 7. KH. Muhammad Siddiq: Pendiri, Pengasuh Pesantren Siddiqiyah, Jember. 8. [highlight]KH. Muhammad Hasan Genggong : Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Zainul Hasan Genggong.[/highlight] 9. KH. Zaini Mun’im: Pendiri, Pengasuh Pesantren Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo. 10. KH. Abdullah Mubarok: Pendiri, Pengasuh Pondok , kini dikenal juga menampung pengobatan para morphinis. 11. KH. Asy’ari: Pendiri, pengasuh pondok Pesantren Darut Tholabah, Wonosari Bondowoso. 12. KH. Abi Sujak : Pendiri, pengasuh pondok Pesantren Astatinggi, Kebun Agung, Sumenep. 13. KH. Ali Wafa : Pendiri, pengasuh Pondok Pesantren Temporejo, Jember. 14. KH. Toha : Pendiri, pengasuh Pondok Pesantren Bata-bata, Pamekasan. 15. KH. Mustofa : Pendiri, pengasuh Pondok Pesantren Macan Putih, Blambangan 16. KH Usmuni : Pendiri, pengasuh Pondok Pesantren Pandean Sumenep. 17. KH. Karimullah : Pendiri, pengasuh Pondok Pesantren Curah Damai, Bondowoso. 18. KH. Manaf Abdul Karim : Pendiri, pengasuh Pondok Pesantren Lirboyo Kediri. 19. KH. Munawwir : Pendiri, pengasuh Pondok Pesantren Krapyak, Yogyakarta. 20. KH. Khozin : Pendiri, pengasuh pondok Pesantren Buduran, Sidoarjo. 21. KH. Abdul Hadi : Lamongan. 22. KH. Zainudin : Nganjuk 23. KH. Maksum : Lasem 24. KH. Abdul Fatah : Pendiri, pengasuh Pondok Pesantren Al Fattah, Tulungagung 25. KH. Zainul Abidin : Kraksan Probolinggo. 26. KH. Munajad : Kertosono 27. KH. Romli Tamim : Rejoso jombang 28. KH. Muhammad Anwar: Pacul Gowang, Jombang 29. KH. Abdul Madjid: Bata-bata, Pamekasan, Madura 30. KH. Abdul Hamid bin Itsbat, banyuwangi 31. KH. Muhammad Thohir jamaluddin : Sumber Gayam, Madura. 32. KH. Zainur Rasyid: Kironggo, Bondowoso 33. KH. Hasan Mustofa: Garut Jawa Barat 34. KH. Raden Fakih Maskumambang: Gresik 35. KH. Sayyid Ali Bafaqih: Pendiri, pengasuh Pesantren Loloan Barat, Negara, Bali. 36. KH. Nawawi : Pendiri, pengasuh pondok Pesantren Sidogiri, Pasuruan. 4/5 - (35 votes)
6 Desember 2014
Figur
HB Muhammad bin Ali AlHabsyi yg memeganginya adalah AlUstad HB Muhammad bin Husein AlAthos,HB Novel bin Jindan,HB Abdulloh Assyami AlAthos,HB Syeh bin Abubakar Assegaf,HB Muhammadil Bagir AlAthos 1992 Di Jakarta dikenal banyak para alim ulamanya. Mereka adalah panutan para warga Jakarta khususnya di kalangan para masyayikh dan warga sekitarnya. Pada zaman Belanda ada Habib Utsman bin Yahya yang lebih dikenal dengan Sayyid Utsman Mufti Betawi. Setelah Habib Utsman bin Yahya wafat, yang paling berpengaruh ialah Habib Ali bin Abdurrahman al-Habsyi yang lebih mahsyur dengan sebutan Habib Ali Kwitang. Bisa dikatakan beliau menjadi pusat rujukan seluruh para ulama. Dan setelah Habib Ali wafat, banyak para ulama di waktu itu memusatkan rujukannya kepada Habib Ali bin Husein al-Atthas, yang mana pada waktu itu juga ada Habib Zein ash-Sholabiyah al-Aydrus dari Kerukut. Dan setelah keduanya tiada, boleh dikatakan semua ulama tertuju kepada Habib Muhammad bin Ahmad al-Haddad al-Hawi. Dan zaman terus berganti sampai pada masa wafatnya Habib Muhammad al-Haddad seluruh ulama dan jamaah langsung tertuju kepada Habib Abdullah bin Salim al-Atthas Kebon Nanas sampai pada tahun 1980. Dimana Habib Abdullah wafat di tahun itupun ulama dan jamaah tidak susah menentukan harus ke mana, tujuan mereka adalah Habib Abdullah bin Husein bin Muchsin asy-Syami al-Atthas Batu Ceper Jakarta. Era tahun 80-an ulama makin berkurang satu demi satu sampai yang tertinggal hanya jamaah yang mencari ulama yang tersimpan. Pada waktu itu masyhur di kalangan jamaah sebuah ungkapan: “Ente kalo mau masuk Madraseh masuk aje ke Bukit Duri. Di sane ade Ustadz Habib Abdurrahman Assegaf yang siap mendidik. Kalo ente mau nanye masalah ilmu fiqih tinggal dateng ke daerah Batu Ceper tempatnye Habib Abdullah asy-Syami al-Atthas yang siap ngejawabnye. Terus kalo ente mau minta doa biar hasil maksudnye qobul tinggal ke Cipayung nemuin Habib Umar bin Hasan bin Hud al-Atthas.” “Dan ketiga mereka kini telah tiada. Sekarang kita mau ke mana? Ke tempat siapa? Dan lalu bagaimana?” Begitulah umat bertanya-tanya. “Mau ke mana kita?” Ayyuhal ahibba-ilkiram. Saat ini kita bagai anak yatim yang ditinggalkan orang tua. Saat ini kita merasa hilang arah karena tanpa cahaya, tanpa petunjuk nyata. Kita ini bagai orang buta, tuli dan bisu yang mudah ke sana dan ke mari. Kita bagai berada di tengah samudera yang sedang mengombang-ambingkan perahu kita. Perahu yang tanpa layar berkembang yang siap digulung ombak besar lalu karam di dasar laut yang gelap hitam kelam. Apabila di sekitar kita masih ada ulama, jaga mereka, ikuti mereka, jangan sampai kita menyesal sejadi-jadinya karena jauh dari mereka. Sumber : Biografi Ulama dan Habib 3/5 - (2 votes)